Pusak/ Jamah - Tradisi Menjumput Makanan di Komunitas Melayu Kayong Utara

// // Leave a Comment



Petang itu aku sedang menikmati makan malam bersama keluarga Bang Edi, ada istri dan 2 orang anak perempuannya, di rumah kayunya yang sederhana. Kami berkumpul di dapur yang juga dipakai sebagai ruang makan kecil berukuran 4 x 4 mungkin. Beralaskan tikar pandan kecil yang hanya muat untuk sajian makanan dan gelas minum. Dalam kesibukan itu, tiba-tiba ada suara dari pintu depan pertanda ada tamu yang datang.

"Assalamuaikum" terdengar suara seorang bapak paruh baya sambil membawa map entah bertuliskan apa. Mungkin urusan desa, maklum Bang Edi adalah seorang pamong desa.
Istri Bang Edi yang biasa kupanggil Kakak menjawab, "Yo, masuk sinilah. Lagi makan ini, makan lah!".
Si bapak itu lalu masuk menuju tempat kami makan, dan kemudian duduk sebentar. Kupikir dia akan ikut makan bersama kami, tapi ternyata dia hanya mengambil sejumput nasi dan memakannya. "Pusak saja." katanya. Setelah itu dia berlalu dan menunggu di ruang depan yang hanya berjarak 3 meter dari tempat makan kami.

Heh? Pusak? Apa itu?

Itulah pertama kalinya aku kenal dengan budaya pusak atau jamah. Budaya ini kutemui di masyarakat Melayu yang tinggal di Sukadana dan , masih di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.

Pusak atau jamah berarti mencoba, mencicipi, atau menjamah makanan yang tidak sempat dimakan. Misalnya seperti kisah di atas, si bapak tamu tidak ikut makan malam bersama keluarga Bang Edi, tapi dia harus ikut mencicipi dan menjamah meski sedikit makanan itu. Itulah pusak. Atau ketika ada seorang suami yang akan pergi ke ladang atau ke suatu tempat, dia tidak sempat makan apapun. Maka sebelum pergi, dia harus memakan minimal sejumput makanan, bisa nasi, lauk, atau bahkan bubuk kopi.

Pada pokoknya, seperti yang kulihat dan juga kutelaah cerita dari beberapa orang, kewajiban pusak itu bisa muncul pada siapapun yang berhadapan dengan makanan, entah miliknya atau bukan tapi tidak sempat atau tidak bisa dimakan, maka wajib menjamahnya alias wajib pusak. Halah, trus kalo lagi makan di warung bagaimana? Itu lain cerita. Maksudnya bukan miliknya ini, misalnya jika bertamu lalu si tuan rumah menawari makan, tapi si tamu menolaknya.

Semua orang harus melakukan pusak, baik laki-perempuan dan tua-muda. Kenapa harus begitu? Dipercaya oleh orang-orang Melayu itu, bahwa jika pusak dilanggar akan menimbulkan sial dan bencana bagi pelanggarnya. Dan apa saja sial yang bisa muncul dari pelanggaran pusak? Aku tanya-tanya beberapa orang dan jawabannya sungguh ngeri dan membuat bulu kuduk sedikit merinding. Aku beri 2 contoh sialnya. Pernah ada seorang anak muda yang akan berangkat main ke desa lain, dia tidak melakukan pusak sebelum pergi. Akhirnya dia mengalami kecelakaan dan terjatuh dari motornya, padahal menurutnya waktu itu tidak ada apa-apa. Heeh? Lalu pernah ada seorang yang pergi ke hutan untuk berladang, belum pusak sebelumnya dan dia tersesat di jalan yang hampir setiap hari dia lewati. Halah! Sial sekali kan? Itu cerita yang kudapat dari orang-orang sekitar daerah ini.

Tradisi pusak ini sepertinya hanya berlaku bagi orang lokal. Itu karena ketika aku kemana-mana aku tidak pernah pusak. Kutanyakan apa akibatnya lalu dikatakan bahwa kalau orang luar tidak apa-apa. Hanya penduduk asli yang harus pusak. Lalu bagaimana dengan makanan di warung? Yah, ini beda kasus sepertinya. Makanan di warung bebas dari pusak. Ya iya juga sih, bagaimana juga mau icip-icip dagangan orang. Menurut perkiraanku,berjualan makanan jadi di warung adalah hal baru. Ketika pusak lahir, tidak ada warung makan. Jadi pusak tidak diberlakukan di warung makan karena memang tidak sesuai juga. Coba di cek kalau saya salah.

Aku tidak tahu darimana asal muasal tradisi ini. Tapi aku rasa ini menarik. Di balik tradisi unik itu tersimpan sesuatu nilai pastinya. Menurutku pusak itu memiliki arti lain, selain daripada pencegah sial. Aku telah mencoba sedikit melihat arti pusak itu sendiri. Kira-kira seperti poin-poin di bawah ini.

  1.  Pusak itu menyimbolkan penghargaan kepada makanan sebagai sumber kehidupan. Makanan sangat dihargai di sini. Sebagai informasi tambahan, orang Melayu Kalbar jarang sarapan pagi. Biasanya mereka makan 2 kali sehari, siang dan sore/malam. Meskipun 2 kali tapi porsinya benar-benar porsi dewa alias sangat besar, bisa-bisa 1 pinggan penuh dan itupun masih nambah lagi.

  1. Pusak juga menunjukkan penghargaan kepada si pemasak. Meskipun kita tidak sempat memakan makanan yang ada, tapi minimal kita telah mencicipi hasil karya dari sang pemasak. (Padahal kalau sedikit mah mana kerasa ya. Hehehe).

  1. Pusak juga memperlihatkan penghargaan kepada orang lain. Misalnya antara si tamu dan tuan rumah. Tamu dipersilahkan makan adalah bentuk penghargaan tuan rumah pada tamunya. Tapi ketika si tamu menolak, maka minimal dia ikut sedikit mencicipi makanan si tuan rumah. Itu adalah wujud penghargaan juga pada tuan rumah. Jangan disamakan dengan tawaran makan basa-basi seperti pada umumnya, di Kayong Utara basa-basi itu jarang ada. Aku bahkan sering melihat tamu yang ikut makan dengan si tuan rumah.

  1. Pusak mengajarkan disiplin. Sudah pasti ini. Jarang kudapati orang yang berani melanggar pusak. Mungkin ancaman sialnya menakutkan. Ehm, sebenarnya poin ke-4 ini aku agak ragu-ragu menulisnya. Apakah benar demikian? Tidak apa-apa lah, kutuliskan saja.

Mungkin ada yang bisa berbagi tentang tradisi pusak ini? Silakan berbagi.

0 comments:

Post a Comment