Jika Amerika punya Salmon, maka Indonesia punya Chitra chitra sebagai maskot restorasi sungai. Benarkah?
Tulisan ini adalah salah satu jawaban dari pertanyaanku di artikel tentang Salmon (baca: Salmon, Primadona Ikan di Pacific North West). 
Di tulisan sebelumnya, aku membahas tentang Ikan Salmon, yang menjadi maskot restorasi sungai di Amerika Serikat karena masuk dalam kategori satwa terancam punah menurut Endangered Species Act. Status Salmon tersebut mewajibkan pemerintah dan juga warga negara untuk ikut serta melindungi Salmon dengan salah satu caranya adalah memperbaiki tempat hidup atau habitat Salmon, yaitu sungai.

Berangkat dari itu, aku menjadi terpikir, adakah sesuatu maskot yang bisa mendorong adanya restorasi sungai di Indonesia? Kemudian aku teringat dengan geger tahun 2011 kemarin saat ditemukannya Bulus raksasa di Sungai Ciliwung Jakarta, tepatnya di daerah Tanjung Barat (Baca berita: penemuan bulus raksasa Ciliwung). Bulus berukuran panjang hampir 1,5 meter yang memiliki nama ilmiah Chitra chitra javanensis adalah satu dari sekian banyak satwa penghuni Sungai Ciliwung yang masih bertahan sampai saat ini. Dan kemungkinan besar bulus ini bisa menjadi maskot restorasi sungai di Indonesia, khususnya di Jawa yang menjadi habitat utamanya. Inisiasi ini juga sudah dimulai oleh Komunitas Ciliwung.
C. chitra javanensis yang ditemukan di Ciliwung Jakarta November 2011 (img source: here)

Chitra chitra javanensis adalah salah satu subspecies dari Chitra chitra atau nama internasionalnya adalah Asian narrow-headed softshell turtle (Kura-kura Asia dengan tempurung lunak dan dan kepala menyempit).  Urutan taksonomi bulus ini adalah sebagai berikut:

Kingdom: Animalia , Phylum: Chordata, Class: Reptilia, Subclass: Anapsida, Ordo: Tertudines, Sub-Ordo: Cryotidora, Family: Trionychidae, Genus: Chitra, Species: Chitra chitra, sub-species: Chitra chitra javanensis.

 
Genus Chitra: (A) C indica (Bangladesh); (B) C vandijki (Myanmar); (C) C chitra chitra (Malaysia); (D) C chitra javanensis (Indonesia). (McCord et.al 2002)





Sebaran bulus ini adalah di Pulau Jawa dan juga Sumatra bagian selatan. Bulus Chitra chitra menghuni wilayah perairan air tawar yaitu sungai-sungai. Mereka biasanya berada di bawah lapisan lumpur/pasir sungai.  Spesies bulus ini masuk dalam ketegori Critically Endangered menurut IUCN dan Red List Appendix II dalam CITES. Di Indonesia sendiri dalam PP no. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, species Chitra yang dilindungi adalah Chitra Indica atau Labi-labi Besar yang tentunya berbeda spesies dengan Chitra chitra. Aku tidak bisa menemukan adanya peraturan nasional yang melindungi C. chitra.
Sebaran C. chitra javanensis (McCord et. al 2002)
Ancaman utama kelestarian bulus ini adalah perburuan dan juga rusaknya habitat. Diketahui bahwa perburuan bulus ini banyak dilakukan di daerah Pasuruan – Jawa Timur dan juga beberapa kali di Bengawan Solo – Jawa Tengah. Sebagian besar perburuan dilakukan untuk jual-beli koleksi reptil. Pencemaran sungai yang masih marak berlangsung saat ini juga menjadi ancaman bagi bulus Chitra chitra yang menyukai perairan air tawar yang bersih.

Penemuan bulus raksasa C. chitra javanensis di Sungai Ciliwung menjadi bagian penting dalam upaya restorasi sungai Ciliwung yang dimotori terutama oleh jejaring Komunitas Ciliwung yang kemudian  menetapkan tanggal 11 November yang bertepatan dengan penemuan bulus sebagai Hari Ciliwung. Lalu, setelah 3 tahun sejak November 2011, bagaimana perkembangan restorasi Ciliwung dan bagaimana juga nasib bulus raksasa ini?

Saat aku menulis catatan singkat ini, aku belum banyak menemukan perkembangan berarti terkait riset ilmiah tentang Chitra chitra javanensis yang juga oleh masyarakat lokal disebut Senggawangan. Setelah mencoba berselancar di dunia maya dengan kata kunci ‘Chitra chitra javanensis’, ‘senggawangan’, dan lain-lain yang sekiranya terkait dengan isu bulus raksasa, namun hasilnya tidak terlalu banyak. Menurutku sudah sewajarnya jika hewan langka bahkan dilindungi, harus mendapatkan perhatian lebih terutama juga karena ancaman yang dihadapi cukup berat. Jika tidak ingin menyusul kepunahan species yang juga terjadi di Ciliwung, yang telah memakan korban punahnya 90% spesies ikan asli akibat rusaknya habitat, serangan ikan non-asli invasif, dan eksploitasi.

Upaya untuk melindungi Chitra chitra javanensis terkait langsung dengan restorasi sungai. Langkah yang telah diambil oleh para penggiat Komunitas Ciliwung dengan menjadikannya maskot Ciliwung menurutku sangatlah tepat. Maskot membuat sesuatu menjadi lebih menarik dan bertujuan. Orang akan lebih tertarik dengan suatu tujuan yang ‘nyentrik’ daripada tujuan mulia yang terkadang dinilai ‘basi’ dan terlalu mengawang-awang. Menyelamatkan Bulus Raksasa dari ancaman kepunahan menurutku lebih menarik daripada hanya slogan membersihkan sungai untuk kebaikan bersama. Meskipun pada prakteknya, penyelamatan habitat bulus akan sama artinya dengan restorasi sungai itu sendiri. Seperti orang berjualan, diperlukan branding yang kuat, begitu pula dengan restorasi sungai.

Belajar dari Pacific North West, pantai barat Amerika yang saat ini juga banyak melakukan proyek restorasi sungai, Salmon adalah maskot utama. Perlindungan habitat Salmon telah membawa efek yang kuat terhadap upaya perbaikan kualitas sungai dari hilir sampai hulu, mulai dari program penghijauan daerah riparian hingga proyek besar perobohan dam/bendungan yang nilai dalam dolarnya sangat spektakuler. Salmon telah berhasil menjelma menjadi ikon sungai sehat di sini. Jika Salmon bisa,  Chitra chitra javanensis juga bisa kan?
Referensi:
McCord WP, Prtichard Peter CH.2002. A Review of The Softshell Turtles of The Genus Chitra, With The Description of New Taxa From Myanmar and Indonesia (Java). Centre for Herpetology, Madras Crocodile Bank Trust, Hamadryad Vol. 27, No. 1, pp. 11 – 56. (link)
[IUCN] International Union for Conservation Nature.The IUCN Red List of Threatened Species: Chitra chitra. (link)
Berita:
 


Pertama kali aku mencoba mengenal sungai di negeri ini, aku langsung diherankan dengan ikan selebriti ini, Salmon. Ikan migran ini memiliki posisi dan pengaruh yang sangat penting terhadap sungai-sungai di negeri ini. Dam dirobohkan untuk memberi jalan pada si ikan ini, instalasi LWD (Large Wood Debris) yang biayanya spektakuler rela dilakukan untuk memberi si ikan tempat memijah, setiap ada proyek yang berhubungan dengan aliran air/ sungai selalu nama Salmon di bawa-bawa untuk memastikan kepentingan si ikan tidak terganggu, bahkan pemerintah federal dengan sengaja membunuh sejumlah pemangsa Salmon (burung, anjing laut). Pokoknya, si Salmon ini bak selebriti di sini. Meski kadang keputusan pemerintah dinilai kurang populer, namun tetap saja dilakukan untuk menjaga si Salmon.

Salmon adalah nama umum yang digunakan untuk menyebut sejumlah jenis ikan dari famili Salmonidae. Ikan-ikan Salmonidae yang tidak tidak disebut Salmon antara lain Trout, Char, Grayling dan Whitefish. Ikan Salmon aslinya berasal dari Samudra Pasifik dan juga Samudra Atlantik bagian utara, meskipun kini sudah banyak budidaya Salmon yang dilakukan hampir di seluruh dunia. Ikan Salmon bersifat 'anadromous' yaitu Salmon yang hidup di laut bermigrasi dari laut ke air tawar untuk bertelur atau bisa juga bagi Salmon yang hidup di air tawar yang bermigrasi ke sungai yang lebih hulu untuk bertelur. Kebalikan dari anadromous adalah catadromous, yaitu ikan air tawar yang  bermigrasi ke laut untuk bertelur. Ada dongeng (folklore) yang menceritakan bahwa Salmon akan kembali tepat dimana dia dilahirkan/ menetas dan menurut beberapa studi hal ini benar. Bagaimana mereka bisa mengingatnya ya?


Salmon life cycle
1. Salmon eggs hatch in the redd
2. Fry grow in the stream
3. Young Salmon migrate downstream and journey to the sea
4. Salmon spend years at sea - feeding, growing and storing nutrients from the ocean
5. Large adult Salmon journey back up the river
6. Adult lay and fertilize eggs (spawn), then die
7. Salmon get eaten and nutrients are spread througout the area (forest, land)

Salmon adalah sumber makanan yang penting. Penduduk asli Amerika (Native America aka Indian) bahkan menyebut Salmon sebagai 'roti'nya orang mereka. Sudah sejak lama, Salmon menjadi makanan paling penting bagi penduduk native. Tidak hanya mereka, hampir semua orang di sini menyukai Salmon. Posisi Salmon dalam ekonomi lokal di daerah inipun menjadi sangat penting. Selain itu, ikan ini juga menjadi sumber makanan penting bagi spesies lain seperti beruang, anjing laut dan juga burung pemangsa.

Salmon dan Native American. Sebuah gambar di Museum at Warm Spring, Oregon

Dalam kaitannya dengan restorasi sungai, Salmon memiliki fungsi penting. Salmon yang bermigrasi dari laut ke hulu mensyaratkan kondisi sungai yang sehat. Kejernihan air, temperatur yang tepat, jalur migrasi yang lancar dan tentu saja tempat bertelur yang nyaman. Dari hilir ke hulu, dari laut ke tempat bertelur, Salmon telah menyatukan satu kepentingan yang sama yaitu sungai yang baik. Jika ada gangguan di tengah jalan, maka rantai migrasi Salmon akan terputus. Pernah suatu ketika, di Kota Portland, temperatur air di Sungai Willamette lebih tinggi dari normal pada saat musim migrasi Salmon. Akhirnya, banyak ikan yang mati kepanasan. Ataupun bendungan yang menutup jalan migrasi sehingga Salmon tidak bisa lewat. Meskipun Salmon adalah ikan yang bisa melompat, tapi tingginya bangunan bendungan tidak bisa dilaluinya. Karena itulah, Salmon mampu berbicara bagaimana kondisi sungai di wilayah ini. Jika Salmon bisa ditemukan di suatu sungai dalam kondisi baik maka bisa diartikan sungai itu cukup baik. Nah, ini pula yang akhirnya membawa Salmon menjadi seleb ikan di sini.

Hutan-hutan di PNW banyak yang dimiliki oleh privat, baik keluarga ataupun korporat. Di hutan-hutan tersebut, mengalir sungai-sungai kecil-besar yang sebagian menjadi jalur migrasi Salmon ataupun tempat bertelur. Hilangnya Salmon dari satu aliran yang dulunya pernah didatangi Salmon adalah pertanda buruk, bahwa ada yang salah dengan sungai. Hal ini bukanlah berita baik dan kadang menjadikan para pemilik lahan was-was. Banyak kelompok pemerhati lingkungan (pemerintah ataupun NGO) yang mengawasi si ikan ini. Masyarakat umumpun juga menaruh perhatian untuk si ikan. Para pemilik lahan dan juga pemerintah umumnya akan melakukan apa saja untuk menjaga ataupun membuat Salmon kembali ke sungai-sungai mereka. Kenapa? Karena "jika sungaimu didatangi Salmon, maka kamu orang yang baik."

Instalasi LWD di hutan privat sebagai tempat untuk Salmon bertelur



Bagaimana dengan Indonesia?

Aku tidak tahu apakah di Indonesia ada ikan migran juga. Ikan migran mungkin bisa dijadikan maskot sungai. Mereka bisa menghubungkan hilir dan hulu. Merekapun bisa bercerita ada apa saja di sepanjang perjalanannya menyusur sungai? Membuat tren menyelamatkan ikan sepertinya bagus juga, secara tidak langsung juga menyelamatkan habitatnya yaitu sungai.

------------
Bendungan 10 Pintu Air Tangerang (Img source: here)

Seminggu yang lalu tepatnya. Aku tak sengaja membaca berita yang sebenarnya biasa saja tapi menjadi luar biasa. Aku merasa terhibur dengan ironi yang disampaikannya. Mirip kata orang, "Menertawakan diri sendiri adalah salah satu hiburan juga." Nah, berita ini juga membuatku mentertawakan negeri ini, mentertawakan diri ini sendiri. 
 
Judul berita online tersebut adalah "Pintu Air Tangerang Bocor, Petugas Sumpal Dengan Sampah". Isinya mengenai bocornya bendung pintu air 10 di Tangerang dan usaha petugas untuk menanggulanginya dengan menyumpal lubang kebocoran dengan sampah sungai. Berita selengkapnya bisa dibaca di link ini

Sebuah postingan di forum terbesar di Indonesia, KASKUS, tepatnya di subforum BPLN (Berita, Politik, Luar Negeri) yang lebih dikenal sebagai BP raya, juga memposting berita ini. Ini linknya : KASKUS. Berita itu mendapat lebih dari 50 komentar dan dilihat lebih dari 1000 kali. Yang menarik bagiku adalah komen-komen dari para netizen penghuni BP raya. Coba simak beberapa komen berikut ini.

1. Yang mengomentari tentang ‘kekreatifan’ pihak PU yang berhasil memanfaatkan sampah sungai agar lebih berguna. Ke-kepepet-an yang dialami petugas PU Tangerang ini dikomentari oleh mereka:





Well, PU telah berhasil dengan tanggap dan sigap menyumbat kebocoran bendungan! Rekayasanya bisa-bisa mengalahkan engineer! Jangan heran, sampah sungaipun ada gunanya juga. Hahahaha.. Jika sampah gak cukup buat nyumpal bendung bocor, petugasnya aja sekalian dilempar buat nyumbat (Yang ini sadis benar, tapi berhasil membuat aku senyum-senyum sendiri.) Yah, inilah Indonesia.

2. Yang mengomentari tentang PU-nya: 



PU Tangerang? No hope katanya. Selain bendungan, coba dilihat proyek PU yang lain. Jalan aspal misalnya, yang kata si juragan ini dikerjakannya hanya ½ hati. Ada yang berkomentar pula tentang enaknya jadi PNS? Kenapa dengan pegawai negeri sipil? Kenapa enak? Entahlah, aku tidak tahu. Tapi yang jelas memang antrian untuk daftar PNS selalu panjang dan berjubel kan. Nah ada pesen juga, buat pns yang sudah jadi: kerja yang baik ya, jangan maruk. Tuh, bendungan kerjain yang bener, masak beli semen buat nyumpel bendung bocor aja gak sanggup. Gimana mau nyumbat uang negara yang katanya ‘bochor-bochor’ di sana-sini.

3. Yang ini memberi usulan untuk bisnis sampah Jakarta – Banten. 



Untuk keperluan menyumbat bendung bocor di Banten, sampah sungai di Jakarta yang jumlahnya sudah, .. Ah sudahlah.. bisa dikirimkan pada yang membutuhkan.

4. Yang ini malah nyangkut prestasi kepala daerah.





Tangerang adalah bagian dari Provinsi Banten yang dipimpin oleh Ratu Atut (sekarang masih gak ya?). Nah, menurut salah satu juragan ini, tindakan PU yang kreatif ini adalah salah satu prestasi Atut sebagai kepala daerah. Hahahaha… Eh ada yang bawa-bawa nama Dagumen di sini. Ada yang tahu siapa dia? Hehehe….


Dan, itulah tadi, sekedar berita konyol yang cukup membawa tawa pada diri sendiri. Menghibur diri dengan kebodohan yang tercipta bersama. Ketika tak ada lagi yang bisa membuat kita tertawa, ya tertawakan diri sendiri. Ah, coba membayangkan, apakah para petugas PU yang menyumpal sampah di bendung bocor itu juga mentertawakan diri mereka sendiri? Seperti layaknya aku dan sejumlah warga di KASKUS yang ikut menyimak berita itu?

Last comment:

Ikut terhibur juga.


 -------------------------

Diskusi di lapangan (Boardman, OR- USA)


Di bawah ini adalah tips untuk kamu-kamu yang mungkin saja akan/ingin berinteraksi dengan orang asing, khususnya di AS. Bagi orang kerja ataupun anak sekolah, bertemu dengan orang ahli pasti sering dilakukan, terlebih untuk mencari informasi ataupun pendapat ahli. Nah, tips berikut mungkin bermanfaat untuk kamu. (Aku mendapat tips ini dari rekan kerja di AS yang mengatakan bahwa banyak sekali kesulitan bagi orang asing yang datang AS untuk berkomunikasi.)


Bagaimana caranya agar kita mendapatkan informasi yang kita butuhkan dari orang lain.

3 Hal yang sangat krusial dan perlu diingat:

1. Waktu adalah uang
2. Lugas/ langsung/ to the point
3. Pastikan tahu yang kamu mau

Waktu adalah uang: Jika bertemu dengan orang, asumsikan jika mereka sangat sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk kamu. Jadi, buatlah waktu menjadi sangat berharga ketika kamu sedang bertemu dengan seseorang.

Perusahaan, Universitas, Lembaga pemerintah, LSM semuanya memiliki banyak pekerjaan dan juga banyak dicari orang. Karena waktu adalah uang, kamu juga harus sadar bahwa jika waktu yang mereka luangkan untukmu sangatlah berharga. Orang AS senang berdiskusi dan menjawab pertanyaan, tapi tidak dalam waktu lama yang menyita. Jadi kalau mau bertemu, siapkan dulu pertanyaan yang ingin disampaikan, dan kemukakan maksud tujuan dengan jelas.


To the point/ lugas: Di AS, jika kamu bertanya dengan penuh basa-basi, biasanya orang tidak akan merespon. Jadi langsung saja ke inti persoalan.

Di AS, kamu harus lugas. Orang tidak suka menghabiskan waktu untuk menebak-nebak apa maksudmu. Langsung hajar saja ke inti persoalan!Jika kamu tidak jelas atau malah terlalu lama basa-basi, sudah dipastikan kamu akan dicuekin.
Bagaimana caranya to the point? Umpamakan seperti bicara dengan anak kecil. Asumsikan mereka tidak tahu apa-apa tentang kamu dan apa yang akan kamu bicarakan. Kamu harus memilih kata-kata sederhana yang mudah dimengerti. Permasalahan boleh rumit, tapi kata-kata yang digunakan harus sederhana.


Kamu harus tahu yang kamu mau: Jika kamu saja bingung apa yang kamu mau, ya susah. Sama halnya jika kamu tidak bisa menjelaskan secara gamblang keinginan kamu, dipastikan kamu tidak akan mendapatkannya.


7 C untuk komunikasi
Clear = Jelas
Concise = Singkat
Concrete = Kongkrit/ nyata
Correct = Tepat
Coherent = Sesuai/ cocok
Complete = Lengkap
Courteous = Sopan


Contoh kasus: Ada seseorang (bukan orang AS) yang ingin pergi menemui seorang profesor. Dia mengajak rekan kerjanya yang orang AS.

Si pengajak: “Apa kamu mau pergi ke kampus besok?”
Jawaban si rekan: Tidak, aku tidak punya urusan di kampus besok.

Padahal maksud ajakannya: “Maukah kamu menemaniku ke kampus untuk bertemu profesor dan membantuku memahami apa yang akan dia katakan?"

Ya, memang ini sangat berbeda sekali dengan budaya di Indonesia, khususnya di Jawa yang sangat penuh dengan basa-basi dan silat lidah. Seperti kata pepatah, 'Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung." maka jika kita bekerja/ tinggal di luar negeri, sudah pasti aturan di sini yang dipakai. Jika tidak? Siap-siap saja gigit jari.

------------------
(Tulisan pemanasan untuk besok mempelajari tentang koordinasi pengelolaan sungai di Oregon. Karena malas berpikir ngawang-awang, akhirnya bikin tulisan ini. Sekaligus refresh memori dan bongkar-bongkar kembali file di kepala. Hanya ulasan ringan saja)

Hood River, Oregon USA.


Penahkah kamu mendengar tentang Dewan Sumberdaya Air (DSDA)? Atau mungkin Forum DAS? Ehm, bagaimana jika dengan Komite DAS?

Jika minimal kamu pernah mendengarnya, maka saya berani katakan kalau kamu 'cukup tahu' tentang kondisi pengelolaan air di negeri ini. 'Cukup tahu' itu apa maksudnya? 'Cukup' yang belum cukup. Perbandingan ini menjadi cukup karena dibandingkan dengan yang sama sekali tidak tahu. Antara 1 dan 10 itu jaraknya lebih sempit dibanding 0 dan 1. Kenapa? Karena 1 dan 10 sama-sama ada, hanya beda besarnya saja. Tapi kalau 0 dan 1 bagaimana? Berapakah besar antara ke-tiada-an dengan ke-ada-an? Jarak antara yang maya dan nyata? Jarak antara yang tahu dengan yang sama sekali tidak tahu. Makanya, aku berani katakan jika kamu minimal tahu atau ingat pernah mendengarnya, ya itu bisa dibilang 'cukup tahu'.

Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) adalah wadah koordinasi antar pemilik kepentingan sumberdaya air di tingkat nasional dan di tingkat daerah bernama Dewan Sumber Daya Air Daerah (DSDAD). Adanya DSDAN dan DSDAD diatur oleh Undang Undang Sumberdaya Air (UU SDA) no. 7 tahun 2004. Sebelumnya, sudah ada wadah koordinasi keairan di tingkat daerah, yaitu: Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA). (Mustikasari, 2013)


Wadah koordinasi itu apa? Menurut KBBI Wadah bisa juga diartikan sebagai tempat berhimpun atau perhimpunan. Wadah koordinasi berarti perhimpunan untuk melakukan koordinasi. Koordinasi adalah kata serapan dari Bahasa Inggris coordination yang berarti perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yg akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Jadi bisa dikatakan bahwa wadah koordinasi ini adalah perhimpunan dari bermacam-macam pemangku kepentingan yang bertujuan agar pengaturan kepentingan tersebut tidak simpang siur/ saling bertentangan.

Para pemangku kepentingan (stakeholderS) dalam pengelolaan SDA tentunya sangat beragam dan masing-masing memiliki agenda yang bermacam-macam. Wajar saja, karena semua pihak memerlukan air. Kebutuhan akan air adalah milik semua orang dan semua makhluk hidup.Jika berbicara tentang kebutuhan dasar, maka kebutuhan kita akan air mungkin akan sama/ tidak terlalu berbeda. Hampir setiap orang di bumi ini hanya butuh air lebih kurang 2 liter per hari untuk konsumsi, di manapun manusia itu berada. Lain ceritanya jika kebutuhan air dikaitkan untuk hal yang lain. Kebutuhan air bagi petani, bagi pengusaha tambak ikan, bagi industri, hotel, restoran, PDAM, PLN, pabrik tekstil, dll. Mereka semua memiliki kepentingan dengan air, tentunya berbeda. Air yang satu (kesatuan) harus dikelola sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan para pihak yang beraneka rupa itu. Bagaimana caranya? Apakah tidak terjadi simpang siur, tumpang tindih, dan kesemrawutan? Di situlah fungsi pemerintah, yaitu sebagai pengatur.

Sebagai pengatur yang baik pastinya harus tahu kebutuhan para pihak yang diatur. Jangan sampai tukang ngatur tidak mengerti apa yang harus diatur. Itu bahaya sekali. Misalnya ya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sama nggak nyambung dengan apa yang seharusnya diatur, mungkin gara-gara salah informasi atau karena malas. Siapa tahu. Nah, untuk mengetahui itu, pemerintah harus mendapatkan informasi dari sumbernya langsung. Dan agar sesama pihak bisa saling memahami kondisi juga, maka mereka harus dipertemukan dalam satu tempat, dikumpulkan dalam satu wadah. Ini penting karena, kepentingan para pihak pastinya akan selalu beririsan, mengingat semuanya terkait dengan satu barang yang sama: air. Wadah yang dibentuk pemerintah inilah yang tadi saya singgung di depan.

Wadah-wadah itu menampung para pihak yang terkait dengan air. Semua orang perlu air tapi tidak bisa semua orang diwadahi kan, sehingga ada perwakilan. Perwakilan dari kelompok-kelompok para pengguna air. Kita tahu bahwa semua orang menggunakan air dengan bermacam cara dan kepentingannya pun sering berbeda. Namun pengelompokan tetaplah penting untuk memudahkan koordinasi. Dari kelompok-kelompok tersebut ditunjuklah/ dipilih wakil yang bisa menyuarakan aspirasi. Mungkin macam DPR, tapi khusus mengenai pengelolaan air. Di sinilah kepentingan itu akan dikolaborasikan (atau mungkin diadu) untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah yang tugasnya mengatur tadi itu. Kelompok-kelompok di wadah tersebut bisa dibedakan secara garis besar ada dua yaitu kelompok pemerintah dan bukan pemerintah. Siapa kelompok pemerintah? Ya dinas-dinas yang berurusan dengan air, misalnya dinas pengairan, pertanian, kesehatan, dll. Sedangkan kelompok bukan pemerintah ya bisa kelompok petani, pengusaha, LSM, dll.

Di wadah-wadah koordinasi itu, diharapkan adanya harmonisasi dan kesamaan pemahamaan dari setiap anggota, agar tidak salah paham. Bahaya sekali jika ada konflik mengenai air. Air adalah bagian penting dari kemanusiaan. Setiap pihak di wadah ini, apapun kepentingannya, diharapkan bisa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, dan mencari jalan terbaik untuk bersama-sama menggunakan air dengan bijaksana. Wadah yang bisa menyatukan berbagai pihak.

Pertanyaannya adalah, apakah wadah-wadah tersebut sudah berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Apakah isi dari wadah itu sudah proporsional? Dan apakah para anggotanya benar-benar sudah terlibat aktif dan memiliki kedudukan yang setara? Bagaimana pula dengan koordinasi antara wadah-wadah tingkat daerah dengan nasional? Dan sebenarnya masih banyak pertanyaan lainnya.

---
Selama aku di Portland, aku juga mencari tahu tentang wadah-wadah koordinasi seperti ini. Di Amerika, ada dikenal istilah Watershed Council atau padanan bahasanya (mungkin) Dewan DAS. Apakah watershed council di sini sama dengan DSDA di Indonesia? Nah, ternyata tidak sama meskipun ada kesamaannya pula. Apa itu watershed council? Aku akan menuilsnya di tulisan selanjutnya.
Antara alumni fahutan, mantan pegawai HPH yang bangkrut, penjaga WC umum, ilmu kehutanan dan Climate Change.

Mendengar 5 frasa di atas, apa yang ada di pikiran kamu?

1. Alumni fahutan ipb
2. mantan pegawai HPH yang bangkrut
3. penjaga WC umum
4. penerapan ilmu kehutanan
5. Climate change

Seseorang, Mbak Rita namanya (ini bukan nama samaran :-P), bahwa dengan konsep 'integrated' atau keterpaduan maka semua hal itu selalu ada kaitannya, ada hubungannya, dan ada sangkut-pautnya. Ah, masa iya.

Bicara tentang keterkaitan, selintas aku ingat dengan 'butterfly effect'nya Edward Lorenz dengan teori chaos yang pernah dikemukakan Henri Poincare. Katanya, "kepakan kupu-kupu di Brazil bisa menyebabkan tornado di Texas!". Atau dengan kata lain, kepakan kupu-kupu itu berhubungan dengan si angin tornado yang letaknya jauh sekali. Nah, hubungan antara kepakan kupu-kupu dengan tornado itu apa? Aku juga gak tahu. 

Katanya, si kepakan kupu-kupu adalah kondisi awal sebagai syarat terjadinya peristiwa kemudian. Perubahan sekecil apapun akan memberikan hasil akhir yang sama-sekali berbeda. Kok jadi mirip hukum sebab-akibat ya? Jika ada sebab pasti ada akibat, meskipun akibatnya itu random atau tidak jelas. Lha, terus gimana mengkaitkannya jika hubungannya acak? Entah! Kenapa juga aku malah jadi kepikiran pertanyaan bak ahli matematika dan fisika (meski dulu pernah jatuh cinta juga dengan mereka. hahaha). Malah kemana-mana ini. Balik lagi ke 5 frasa itu. Aku mencoba menantang diriku sendiri untuk mengkaitkan ke-5 hal itu. Tidak perlu lama-lama mikir, cukup membuka kepala dan langsung menulisnya di sini dalam waktu entah berapa lama sampai aku bosan sendiri.

"Ada seorang alumni perguruan tinggi, dapat gelar akademik di bidang kehutanan, pernah bekerja untuk satu perusahaan HPH di tanah Borneo. Karena perusahaan bangkrut, maka jadilah alumni berhenti dari pekerjaannya. Mungkin karena kepepet atau hidup sedang tak berpihak kepadanya, maka si alumni terpaksa pulang kembali ke kampung halamannya di Jogja, bekerja ala kadarnya, 'apa
saja yang penting halal' mungkin.

Hingga kemudian seorang juniornya, yang satu almamater dengannya secara tak sengaja bertemu di depan sebuah WC umum di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Sebut saja nama sang junior ini Rein. Kala itu Rein masih menjadi mahasiswa, sedang mengurus tugas kuliahnya di Kota Pelajar itu. Karena memang si Rein ini sangat ramah, berbincanglah dia dengan seorang penjaga WC di stasiun kereta yang tak dinyana adalah seorang senior! 

Kesamaan almamater memang menjadi bahan perbincangan seru. Aku bisa bayangkan itu. Aku dulu juga pernah bertemu dengan senior satu almamater di Kampar Riau. Meski baru sekali ketemu dengan senior yang kala itu jadi pejabat desa, rasanya ngobrol lancar jaya. Tidak jauh-jauh yang dibicarakan, pasti seputar kos-kosan dan dunia malam BARA. :D Kira-kira apa yang diobrolkan sama Rein dan sang alumni tadi ya?

Aku dan Bang Rizal, senior nemu di Riau

Waktu-pun berlalu sudah 10 tahun ketika aku menulis kisah ini. Akupun juga baru mendengarnya beberapa hari lalu dari Om Rein, yang juga adalah seniorku dan sekarang sudah alumni. Jadi si tokoh utama alumni penjaga WC tadi adalah seniornya seniorku. Hahaha.. Malah ribet sendiri.

Nah, terhadap kisah ini, ada yang berkomentar bahwasanya 'ilmu kehutanan juga bisa dipakai di banyak tempat'. Dalam obrolan ini ya untuk bekerja sebagai penjaga WC'. Kamu kebayang tidak? Jika kamu, misal seorang sarjana kehutanan, entah karena kepepet ataupun lainnya, kamu jadinya bekerja sebagai penjaga WC umum. Setelah mengenyam pendidikan kehutanan selama minimal 3,5 tahun, kira-kira ilmu mana yang bisa terpakai untuk pekerjaanmu itu?

Apa dendrologi? Inventarisasi hutan? Pemetaan wilayah? Ekologi hutan? Pemanenan kayu? Kimia kayu? Atau,....Aku malah jadi mendaftarkan mata kuliah. Padahal sudah banyak orang bilang jika ilmu itu tak sebatas mata kuliah. Ilmu itu tak sebatas slide ataupun diktat yang dikasih dosen. Ilmu itu bisa ini bisa itu. Aku pun tak tahu definisi jelas ilmu. 

Jadi jika disuruh membuat daftar ilmu yang didapatkan ketika kuliah ya agak susah. Bisa saja aku membiaskannya dengan makna 'pengetahuan' alias sesuatu yang aku tahu (aku rasa aku tahu). Sedangkan ilmu DAN pengetahuan adalah dua hal yang beda. Kalau sama, pastinya jadi 'ilmu ATAU pengetahuan'. 

Sekarang aku mulai berandai-andai, apa yang seandainya terjadi jika aku seorang penjaga WC. Ah, setiap hari kerjaku dimulai jam 9 pagi dan pulang jam 3, ganti shift sama penjaga berikutnya. Kerjaku hanya duduk dan menunggu orang buang hajat, memastikan mereka membayar seribu perak sekali main. Mungkin dalam sehari bisa dapat setoran kotor 50 ribu? 100 ribu? Dari setoran bisa dapat 30 ribu mungkin per hari. Terbayang betapa bosan waktu berjalan, terlebih jika sepi, duduk sendiri memandang peron kereta yang kosong. (Ah, aku baru ingat jika aku bekerja di stasiun) Karena aku seorang sarjana kehutanan, mungkin aku masih tertarik bicara hutan. Aku mungkin akan mengajak orang-orang di sekitarku berbicara tentang hutan, mengkampanyekan tentang perlindungan hutan?

Ahh, tapi kok rasanya malu juga ya. 'Ketahuan jika seorang sarjana cuman jadi tukang jaga WC nanti'. Oalah, aku masih orang Jawa ternyata. Rasa isin (malu), gengsi itu masih ada pastinya. Belum lagi tak tahan olok-olok dan cibiran yang tak terdengar. Sudah jadi rahasia umum itu jika banyak wong Jowo kadang hobi 'ngrasani' (mempergunjing) orang, apalagi yang begini ini, isu sangat seksi sekali. 'Alah, adoh-adoh sekolah, tiwas diragati yo mung gur dadi tukang jogo jedhing!(Halah, jauh-jauh sekolah, sudah dibiayai, ujung-ujungnya cuman jadi tukang jaga WC', mungkin itu yang akan didengar dari bisik-bisik sana-sini. Padahal aku juga sempat kepikiran bahwa orang yang takut dirasani itu sebenarnya adalah tukang ngrasani. Lha, iya kan? Waduh! Jangan-jangan aku ini sebenarnya tukang gosip yang tidak sadar diri! Sungguh bahaya. :-0

Lupakan sejenak 'rerasan' / gosip dulu. Mari kembali ke ilmu kehutanan (atau sebenarnya ilmu kehidupan?). Aku rasa, meskipun dipaksakan seperti apapun, akan sulit menemukan titik temu antara ilmu kehutanan dan tukang jaga WC. (Mohon ingat lagi definisi 'ilmu' ku). Bisa sih pasti bisa karena tak ada yang tak mungkin katanya. Tapi pengalaman hidup saat sekolah/ bekerja di bidang kehutanan itu selalu bisa digunakan. Misalnya saja, waktu sekolah kehutanan diajari tentang gimana caranya analisis vegetasi. Nah, pas jadi tukang WC bisa saja ilmu anveg dipraktekkan, misalnya 'sabar'nya ngukur dan ngolah data dipakai untuk 'sabar' menghadapi pungli. Halahh,... nyambung gak tuh? :D ;-D

Pengalaman hidup adalah sesuatu yang sangat general, umum tapi sekaligus pribadi. Pengalaman yang kurasakan sudah menjadi hak patenku sejak aku lahir, begitu pun juga kamu dan semua orang. Tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan hidup orang lain kan. Tapi kita bisa juga berbagi cerita, lewat tutur kata, wacana, apapun medianya. Pengalaman yang dibagikan pada orang lain akan melatih imajinasi si penerima. Aku tak bisa merasakan apa yang kamu rasakan, tapi aku bisa membayangkan kira-kira apa yang kamu rasakan! Yaaa.. Itulah kekuatan imajinasi.

Balik lagi,

Ngomongin perubahan iklim pasti akan panjang. Seluruh dunia juga sedang ngomongin itu. Nah, perubahan iklim ini apakah mungkin mempengaruhi perubahan kerja si bapak alumni yang beralih profesi? Sebelum itu, aku harus yakin dulu bahwa perubahan iklim ini memang benar-benar terjadi. Jika aku sendiri tak percaya dia ada, bagaimana aku bisa meng-kambing hitam-kannya. Sama seperti nyalahin setan, tapi tak percaya setan itu ada. Nembak bodongan seperti nembak SIM. Hehehe, nyambung lagi gak tuh. Oke, aku percaya perubahan iklim itu benar adanya. Secara gampangannya, aku merasa sekarang lebih panas, musim sudah gak teratur lagi.

Karena aku sudah percaya, sekarang aku boleh dong menuduhnya. ;-P
Sebelumnya aku mau cerita dulu tentang kejadian beberapa waktu lalu saat aku ngobrol dengan teman bule-ku di Amrik sini.

Obrolah pertama dengan Joy, seorang perempuan forester nih.
Aku, "so how about the fire cases in Oregon recently?"
Joy, "Well, most of cases are caused by lightning. It's natural thing here. And I think that mother nature is changed. Of course, it effects the fire too. Climate change is already happened here!"
Aku, "In other words, the change is natural. So, what can we do then?"
Joy, "Nothing much that we can do. We could only try to prevent that but mother nature has her own laws."

Obrolan kedua dengan seorang kawan juga, Grad namanya, aktivis sungai di sini.
Aku, "You know Grad, in my country, there's a river called Ciliwung that always flooded every year. In the past, the flood was only once in 4-5 years."
Grad, "Why it happened?"
Aku, "People said that it because the deforestation and land convertion in the upstream."
Grad,"How about the rainfall?"
Aku, "Actually I don't know about the exact amount of the rainfall.". Aku mulai gelagapan nih, jadi tahu kalau aku tidak tahu. Mau sotoy tapi gak bisa. Lalu timbullah di kepalaku si kambing hitam.
Aku, "Or maybe it's because of climate change?"
Grad, "Yeah, exactly! You need to think about that too. Everywhere floods happen young lady. It's not only in deforestated area but almost everywhere in this world."

Jadi,... begitulah kira-kira. Perubahan iklim adalah kambing yang sangat hitam yang bisa disalahkan sebagai penyebab semua kekacauan sistem alam ini. (Kacau? atau berubah? Berubah kan bukan berarti kacau?) Sebagai bagian dari alam, perubahan pun pasti dirasakan juga oleh manusia, tak terkecuali si alumni tadi. Untuk menarik garis antara perubahan iklim dan si alumni tentu bisa panjang. Ibarat climate change itu kupu-kupu di Brazil dan terdamparnya si alumni di WC Lempuyangan itu adalah tornado di Texas.  Eh, balik lagi ke butterfly effect deh. Tapi ini logikanya berbalik deh ya, kalau kepakan kupu-kupu itu kondisi awal yang kecil sedangkan perubahan iklim adalah sesuatu yang besar dan general. Jadi ngayal, padahal sudah dijelaskan (dari wikipedia si serba tahu) bahwa butterfly effect umumnya dipakai untuk cuaca. Eit, tapi perubahan iklim kan melibatkan cuaca juga ya.

Sebagai manusia yang tunduk pada hukum alam atau bahasa impor kerennya Sunnatullah, ya kita harus ngkikut kehendak alam. Jika perubahan iklim adalah tanda bahwa ibu alam ingin berubah, bisakah kita mencegahnya? Aku rasa tidak. Yang bisa kita lakukan ya menyesuaikan diri, adaptasi. Si alumni tadi juga mencoba beradaptasi. Jika hutan tak bisa lagi memberi rejeki, mungkin WC bisa. Sah-sah saja selama masih tidak mencuri. (Meskipun mencuri bisa dibilang adaptasi juga. :-P)

Tapi, kemudian ada mengganjal lagi. Bukankan manusia yang sering disalahkan atas perubahan iklim ini? Benarkah ini salah manusia? Benarkah manusia penyebabnya? Global warming lah (yang sering dipelesetkan sebagai 'Gombal maning'), deforestasi, polusi, dan banyak lagi.... Jika itu nyata juga, seolah-olah logika jadi dibolak-balik. Alam berubah karena manusia sedangkan manusia katanya tunduk pada hukum alam. Pusing kan ya.. Aku sendiri juga tak paham kenapa bisa kepikiran seperti itu. Kadang terpikir bahwasanya manusia sekarang itu sudah berlagak seperti 'Tuhan', serba mengatur. 'Act God' kalau kata Sara, seorang kawanku lagi di sini. Kalau menurut kamu gimana?

....
Dan ternyata sesuai dengan janjiku di awal tadi, aku akan berhenti jika aku mulai bosan menulis ini. Dan aku rasa aku mulai bosan sekarang. Bosan karena pusing, atau memang sudah jam setengah tujuh petang yang mengharuskanku pulang ke rumah dulu. Musim Gugur sudah mulai di sini dan dingin malam sudah menantiku di luar sana.

Tentang 5 frasa di awal, coba kamu pikir sendiri keterkaitannya. Hehehe...

Sampai ketemu lagi!



Portland (09/15/2014)
(August 21, 2014)

Just a day before the day, I got an email from Chandalin, my supervisor in WFI, about an invitation to a regular discussion in Sierra Club. This environmental club established in 1892 and has its regular discussion once in a month at 3rd Thursday. It's interesting that the discussion always open to public. And in August, the theme of discussion was about Willamette River, the river that I'm interested most in USA! So, even it was a last minute invitation, I made it! I felt that I need to come to this event. And I was right!




Last minute e-mail invitation


The theme was "Protecting the Willamette and Environmental Justice: the Portland Harbor Community Coalition". There was a presentation from Portland Harbor Community Coalition (PHCC), presented by Cassie Cohen (the executive director of Groundwork Portland) and Faduma Ali (Community Organizer for Groundwork Portland). Both Cassie and Faduma are amazing women. They are so young and spiritful. They presented about the Willamette river regarding the big project of Portland Harbor Superfund and their work with the coalition. It was the first time I heard about this coalition. Furthermore, we discussed about the pollution in Portland Harbor, concern toward the people affected by the river condition, and the work of government agency in the project (EPA). It was a really fast discussion and sometimes I felt confused. There were too many abbreviations and terms that I didn't know. (And of course they talked really fast. :0 )


At least there were 20 people that came in that Wednesday meeting. It was a very lively discussion where most of the participants were very enthusiast about the topic. They asked many questions that the presenters often cut them. :) . The meeting ended at 9 pm. I had not any chance to ask any questions but I had contact with Faduma. She's lovely girl and I'd like to know about her work more. (I met her again a week after that!).

I need to write more about the discussion but it's too complicated right now and I don't want to be more confused or maybe make you that read this note confused. Haha...

One thing that I know, "I need to know more about the big project of Portland Harbor Superfund!". It's a big project that many parties in this city really concern both from government, environmental organization, public, and community. Why? It's a super big money, big issue, and big impact to the lower Willamette river.

----
That night, I went back home alone, take a bus from 1821 SE Ankeny Street to Barness and Cedar hills blvd. It was almost an hour drive and in the middle of the way I knew that I forgot my keys (I left them in my room).. Still lucky, at least my landlord was awake so I didn't have problem to enter the house. :)

Wilson River - Tillamook

Percakapanku kemarin dengan seseorang menginspirasiku untuk menulis catatan singkat ini. Teman bicaraku waktu itu adalah seseorang yang bekerja di pemerintahan Kota Portland khusus menangani urusan air. Kira-kira begini potongan dialog yang terjadi antara kami.

"So, do you think that people here love the river?", kataku.

"If you ask people that questions, I'm sure they will answer, "Yes, I do". But for me, as my self, I love the river." Dia menjawab.

"If they do, what can they do or what do they do to show their love?", aku tanya lagi.

.... hening sejenak.

"Well, that's a good question! I need to find the answer too. I love the river through my job here." jawaban dia.

Kita berbicara tentang cinta dan bagaimana mengungkapkan cinta. Mungkin bagi seorang pegawai pemerintah khusus di bidang air akan mudah menjawab pertanyaanku. Tapi bagaimana dengan orang biasa? Misalnya saja orang kota, para pekerja kantoran, atau mahasiswa yang hidupnya sama sekali tidak berinteraksi langsung dengan sungai, bagaimana dengan mereka?

Pernah aku bertanya kepada seseorang tentang urusan cinta ini. Jawaban dari pertanyaan pertama sangat mudah. Kamu cinta? Iya saya cinta. Bagaimana? ..... (aku tidak tahu,...)
Bagaimana (How) memang adalah pertanyaan tersulit. Bagaimana mencintai sungai, itu juga pertanyaan sulit. Tapi aku rasa jika seseorang mempunyai cinta, pasti tidak akan sulit menjawabnya. Jika tidak bisa menjawab, maka perlu diragukan rasa cintanya. Tulus atau hanya sebatas omongan saja.

Kenapa?

"Love is an action!" Cinta itu adalah perbuatan, tindakan, nyata dan bisa dirasakan. Sekecil apapun cinta itu pasti ada wujudnya. Tak pernah ada cerita cinta dalam hati saja, itu tidak cukup. Dan aku berani berkata itu bukanlah cinta.

Jika kamu mencintai seseorang maka kamu akan melakukan sesuatu untuk orang yang kamu cintai kan? Kamu akan berusaha membuatnya tersenyum dan bahagia. Kamu bahkan rela berkorban untuknya. Iya kan?

Nah, sekarang aku bertanya juga, "Bagaimana cara kita mencintai sungai? Bagaimana cara kita membuat sungai tersenyum dan bahagia? Apa yang bisa kita lakukan?". Bisakah kita menemukan jawabannya. Harus bisa!

Atau perlu sekali kita bertanya dan meragukan kata 'cinta' yang sering kita ucapkan pada sungai yang semakin hari semakin merana. Terlalu banyak kata cinta yang diterima tanpa aksi nyata. Istilah gaulnya di-PHP-in.

Aku pun demikian. Aku mulai menanyakan pada diriku juga. Apakah aku cinta sungai? Bagaimana caraku mencintai sungai?

Aku mulai dengan mencoba mengenalnya. Karena 'tak kenal maka tak sayang' masih aku percaya. Aku mempelajarinya dan mencoba memahami kebutuhannya, suka-dukanya, deritanya. Berbicaralah dengan sungai melalui bahasa alam, mencoba berbincang. Sekali-kali teriak di pinggir sungai juga tidak apa-apa, asal jauh-jauh dari tetangga. Tapi ternyata mengenalpun tak cukup kan. Cinta memang menuntut, tapi ajaibnya yang dituntutpun biasanya dengan senang hati melakukannya. Sungai menuntut untuk dibersihkan dari sampah! dan sejumlah pecinta sungai pun dengan sukarela memungut sampah itu. Untuk apa? Agar sungai bahagia! Seperti saat kita memberi hadiah untuk pacar kita, biar dia senang.

Ah, jadi ingat teman-teman penjaga sungai di tanah air, teman-teman KPC di Bogor, Garda Brantas di Jatim, River Defender di Riau, Bang Asun dan kelompoknya, YKWS di Lampung,dan banyak lagi. Aku bangga dengan kalian yang telah menunjukkan cara kalian mencintai sungai. Karena kalian tahu, cinta butuh tindakan, tak bisa hanya disimpan di hati saja.

Aku sendiri sedang mencoba bertindak, melakukan sesuatu, tidak mudah memang, tapi hati ini bahagia. Dan selama aku di Portland ini aku mencoba berkenalan dengan Sungai Willamette, sungai yang baru kukenal beberapa bulan lalu. Aku mencintai sungai ini meskipun ini bukan sungaiku. Sungai inilah yang menjadi jembatanku untuk mengenal sungai di tanah air. Memahami apa yang terjadi di sini memberiku gambaran tentang apa yang terjadi di tempat lain. Aku ingin belajar dan memahami, ingin berbagi dan ingin bercerita. Wujud cintaku sederhana, mengenalkannya pada semua yang kukenal, menyebarkannya.

Jadi, aku ingin bertanya pada semuanya saja yang mungkin mampir di tulisan ini, "Apakah kamu cinta sungai? Bagaimana cara kamu mencintainya?"

Kalau kamu tidak bisa menjawabnya, maka keraguan atas nama cinta itu mungkin ada. 

0 comments:

Nathan, Bill, Krystina, and I

“What is Forest to you?”, Bill Wood asked that question  when the first time we came at Magness Memorial Tree farm in Sherwood, Oregon. It is a simple question but believe me, the answer is very difficult. It’s not about forest definition or what can we see in it. For me, it’s more about philosophic matter. What is Forest to me? It is ‘me’, not you or them. My answer will totally reflect my view on forest and more about life itself. I will save my answer for the last paragraph.

Magness Memorial Tree Farm (MMTF) is one of 4 tree farms owned by World Forestry Center in Oregon. This land was donated to World Forestry Center by Howard and Panzy Magness in 1977. Additional lands have been donated by the Robert Heater Family. Bill said that Magness’ gave their land with conditions: it is used for education and must be opened every day in a whole year. Now, it is visited by thousands people every year. Most of them are school kids who want to learn about forest and nature.

Trees at Magness

Bill Wood is the manager of this beautiful 80 acre property with the help from Nathan Boles, his assistant. They are really a good partner and very passionate about trees and forest. Bill assisted us (I and 2 friends- Krystina and Vincent-) in a small tour in this tree farm. We made many stops and discussed many things in it: medicine plants, old growth forest, Spotted Owl, trees, wild life, stream, fish, school kids, etc. Bill’s knowledge about forest is amazing. Later, I knew that he ever visited South East Asia include Indonesia more than 25 years ago. He is a traveler!

After lunch break, we visited other land just beside Magness. Nathan joined us after he finished his job with the kids. We came in the perfect time. Berry’s time! Delicious blackberries were almost every where.

Bill is picking up the berries for us :)

Clear water in the small stream at Magness


We met the baby  mice and the mother. (She's alive! lol )

Back to the question ‘What is forest to you?’. I really don’t know the exact answer. Can I answer a question with another question? I think so. Isn’t it the basic of philosophy? When I was sitting there with Bill and my friends, under the trees in a cloudy day, I remembered about the question and another question popped up in my mind. For me, the answer to ‘what is forest to you?’ is another question, ‘What am I to forest?’.
So, what am I to forest? What is human to forest? Who are we?

I believe that forest has its magical world, something mystical and spiritual. Can we live without forest? I don’t know. Forest is just another world. It grows and lives, even without us. Then we came and tried to manage it. Act God, isn’t it?

Ini adalah catatan awal ketika aku mulai project riset-ku di World Forest Institute tentang pengelolaan sungai. Satu hal penting adalah aku perlu mencari definisi standar yang digunakan di sini. Dan aku langsung ketemu dengan River Basin dan Watershed.

Apa sebenarnya perbedaan istilah itu? Keduanya sering dipakai dalam bidang pengelolaan sungai/air/hutan dan sering kali bertukar tempat. Apakah artinya sama? Atau berbeda? Jika berbeda apanya yang beda? Tidak ada definisi yang pakem atau resmi untuk kedua istilah tersebut. Dari beberapa sumber yang kudapatkan, kedua istilah tersebut memang masih simpang siur definisinya. 
Misalnya, aku pernah tanya pada supervisorku pas masih kerja di Amrik,

Chandalin: "Watershed mengacu pada daerah yang lebih luas dimana air itu mengalir (ini adalah pengertian DAS), dan River basin lebih mengacu pada sungai (basin dalam Bahasa inggris berarti tampungan/wadah). Kata watershed juga lebih umum digunakan.
(dan aku masih ragu, aku pun tanya Sara, program manager-ku)
Sara: Mirip dengan Chandalin. Istilah DAS mengacu pada kata watershed, sedangkan river basin (mungkin) pada sungai (badan sungai).

Aku tanya juga ke hampir semua penggiat air yang kutemui. Jawabannya selalu mirip-mirip, "Well, you know, actually those terms look alike and I'm not sure about the clear definition  between them. But for me, I think.... ".  Mirip dalam artian tidak ada keyakinan yang mendalam. Aneh juga rasanya.
Aku kemudian cek buku "Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu" tulisan Kodoatie 2005, dituliskan bahwa istilah DAS dalam Bahasa Inggris disebut sebagai watershed atau river basin. 
Lhah? Yang mana ini yang benar?

Menurut EPA (Environmental Protection Agency) di http://water.epa.gov/type/watersheds/whatis.cfm
 
What is a Watershed?
A watershed is the area of land where all of the water that is under it or drains off of it goes into the same place. John Wesley Powell, scientist geographer, put it best when he said that a watershed is:
"that area of land, a bounded hydrologic system, within which all living things are inextricably linked by their common water course and where, as humans settled, simple logic demanded that they become part of a community."
Watersheds come in all shapes and sizes. They cross county, state, and national boundaries. In the continental US, there are 2,110 watersheds; including Hawaii Alaska, and Puerto Rico, there are 2,267 watersheds.
 
What is the difference between a River Basin and a Watershed?
Both river basins and watersheds are areas of land that drain to a particular water body, such as a lake, stream, river or estuary. In a river basin, all the water drains to a large river. The term watershed is used to describe a smaller area of land that drains to a smaller stream, lake or wetland. There are many smaller watersheds within a river basin.

Lalu,
di website Pemerintah Kota Portland: https://www.portlandoregon.gov/bes/article/231466

"The Willamette River Basin is the largest watershed in the state, ..."

 Nah lho! Berarti River Basin sama watershed artinya sama dong.

Dan,
 Masih banyak lagi kutemukan 'river basin' dan 'watershed' di jurnal-jurnal, publikasi, buku, dan artikel berita di mana-mana.
Ini sangat membingungkan. Jadi yang mana sebenarnya yang dimaksud DAS? Jika aku berbicara tentang DAS Willamette, maka yang benar Willamette River Basin atau Willamette watershed? Kalau dari rasa-rasaku, yang pas adalah Willamette River Basin. Tapi belum yakin juga.
Tapi kemudian muncul tanya, “Bukannya Willamette adalah anak sungai Columbia, jadi sebenarnya daerah aliran Willamette adalah sub-DASnya Columbia.”
Istilah DAS sendiri mengacu pada sungai yang mengalir sampai ke muaranya di laut (dan danau?), jadi jika ada sungai yang muaranya bukan di laut maka masih dihitung anak sungai (kah?). Satuan wilayah pengairannya-pun akan disebut sub-DAS 1,2, 3, dst tergantung tingkat cabang-cabang anak sungai alirannya atau dengan kata lain ordo sungainya.
Karena watershed dan river basin tidak mensyaratkan adanya muara di laut, maka bisa saja watershed atau river basin digunakan untuk anak-anak sungai (tidak perlu sungai utama).
Apakah demikian?

Nah, 
Akupun tak ingin lama-lama berpusing dengan dua istilah ini. Akhirnya aku simpulkan dengan cukup yakin bahwa antara watershed dan river basin memang 'hampir mirip' tapi tetap beda. Dan dua-duanya bukanlah istilah yang selalu 'pas' dengan DAS.

Watershed dan River Basin sama-sama merupakan wilayah batas aliran air yang menuju ke satu aliran utama. Aliran utama yang dimaksud tidak harus sungai utama yang langsung bermuara ke laut, tapi bisa saja sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai lebih besar. Ini tergantung penggunaan namanya.

Gini lhoh gampangnya. Coba lihat ilustrasi sederhana yang kubuat ini.




 Bayangkan gambar di samping adalah suatu daerah aliran sungai, sebut namanya DAS A. Sungai A ini memiliki anak-anak sungai, misalnya sungai B dan C. Sungai D adalah anak dari sungai B.

Aku bisa menggunakan istilah watershed berkali-kali,

Watershed A = batas biru muda
Watershed B = batas biru muda tebal
Watershed D = batas kuning

Aku bisa juga menggunakan istilah river basin berkali-kali, sama persis dengan istilah watershed di atas.

Bedanya adalah di Amerika (Oregon), penggunaan river basin cenderung untuk wilayah besar/ sungai besar. Sedangkan watershed dipakai untuk banyak sekali keperluan, dari sungai-sungai kecil hingga sungai besar. Ini juga sangat cocok dengan salah satu pertanyaanku, "Kenapa watershed council di sini banyak sekali jumlahnya?" Jawabannya ternyata karena memang watershed yang menjadi wilayah kelola organisasi itu kecil-kecil. Dalam satuan besar, organisasi watersheds biasanya membentuk jaringan ataupun aliansi.

Contoh nih. Sungai Willamette adalah salah satu anak sungai penting bagi Sungai Columbia. Di Willamette River Basin terdapat setidaknya 25 watershed councils yang wilayah aktivitasnya terbagi di anak-anak Sungai Willamette. Cek link tentang Willamette watershed councils.

Akhirnya,
Aku merasa bersyukur bahwa di Indonesia punya istilah yang jauh lebih mudah dipahami dan sangat pakem yaitu DAS = Daerah Aliran Sungai. Apa itu DAS?

"Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan." (UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air)

Nah, definisi DAS sudah sangat pakem dan mantap. Seluruh satuan wilayah aliran air yang mensyaratkan adanya muara terakhir,yaitu danau ataupun laut. Jadi jika melihat ilustrasi di atas yang namanya DAS ya hanya yang garis biru muda, namanya DAS A dan tak ada yang lain-lain lagi. Satuan yang lebih kecil lagi disebutnya sub-DAS.

(Jadi kepikiran, "wah ada juga  yang bisa dibanggakan. I love DAS ! :)  )
(Sebuah catatan yang hampir hilang tentang perjalanan di jantung khatulistiwa, Kalimantan. Ini adalah yang tersisa dari catatan yang hilang karena memang hilang atau karena belum sempat tercatat. :-) )

 6 Desember 2013


Klothok di Pelabuhan Rasau Jaya (Img Source: here)

Sore ini langit Pontianak biasa saja. Di tempat yang baru kukunjungi namun tak memberiku kesan asing. Yah, aku memang masih di negeri sendiri. Indonesiaku yang memberiku sejuta pesona kekaguman yang tak kunjung sirna.
Satu yang seru kali ini adalah bahwa ini menjadi kali ketiganya aku di sini, untuk alasan yang sama, orang yang sama pula.

Seperti biasa, si Singa Udara kambuh penyakitnya. Telat 45 menit dari yang dijadwalkan. Padahal waktu ini menjadi penting terkait keberangkatan perahu sepid (speed boat) yang hanya mau menunggu penumpangnya sampai jam 12 siang. Dan saat jam 12 siang, kami masih nangkring di Bandara Supadio, baru saja keluar dari lambung si Singa Udara.

Jarak bandara - Pelabuhan Rasau Jaya cukup jauh terasa, 30 menit perjalanan dengan taksi berongkos mahal 150 ribu rupiah. Tarif resmi, kata sang sopir. Kami tiba di Rasau Jaya jam 1 siang. Pelabuhan kecil di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang meskipun kecil tapi sangat penting sebagai penghubung wilayah pedalaman Kalbar.
Waktu kami tiba, sepid sudah sejam yang lalu pergi. Sirna sudah jadwal rapi gara-gara si Singa yang molor. Apa yang musti dilakukan? Di tengah jadwal padat yang saling kejar-mengejar, rasa-rasanya buang waktu semalam di kota ini, sungguhlah sayang.

Pelabuhan inipun tak sepenuhnya sepi. Aku lihat kapal-kapal dan perahu bersandar menunggu berlayar. Aih, apa salahnya cari informasi. Beruntung si bapak sopir taksi menjadi guide kami untuk sekedar mencari kepastian di tempat ini. Tak percuma bayar mahal. Dan ya!

Angin segarpun bertiup mengabarkan akan ada motor air yang akan berangkat sore ini ke arah Teluk Melano, tujuan kami. Hari masihlah siang dan tiket katanya baru akan dijual jam 3 sore. Kamipun menunggu di warung-warung kayu yang seakan berjajar mengelilingi pos penjual tiket yang bertembok bata layaknya kantor-kantor dinas. Ah, pemandangan biasa di pelabuhan, terminal, ataupun stasiun.

Dalam penantian, aku mencoba mencari informasi. Kudatangi kantor dinas, agen tiket kapal yang ternyata semua petugasnya berseragam. Kejutan barupun aku dapatkan. Ternyata ada dua jenis perahu yang ada di sana: kapal feri dan motor air alias klothok. Dan lebih terkejut lagi ternyata tujuan kedua perahu itu tak ada yang ke Melano, semuanya akan berhenti terakhir di Pelabuhan Teluk Batang, sebelum Melano.

Terkejut, tapi tetap harus memutuskan dan bergerak. Kamipun memilih diantara dua pilihan yang kurang kami suka. Klothok menjadi pilihan. Kapal feri memang akan lebih cepat sampai dan klothok akan jauh lebih lambat. Yah, namanya saja klothok. Sudah pelan jalannya, bunyinya pasti 'klothok - klothok - klothok'. Asli! Justru di situlah kelebihan si motor air ini. Tak ada yang bisa kami lakukan di malam hari. Dengan lamanya perjalanan, malamnya kami bisa istirahat meski di perahu yang disumpeki oleh berbagai macam penumpang dan kami akan sampai di Teluk Batang ketika subuh. Waktu yang cukup baik untuk melanjutkan perjalanan ke Teluk Melano. Apa jadinya jika kita terdampar di Teluk Batang ketika dini hari. Itu akan terjadi jika kami naik feri.

Sekitar menjelang jam 5 si klothok berangkat. Aku lupa tak mencatat berapa harga tiket yang harus kubeli dengan tawar-menawar. Mungkin sekitar 50 ribu? Ah tidak yakin juga. Tapi yang jelas, setiap beli-beli tiket usahakan untuk selalu mulai menawar. Kalau dapat ya untung kalau tidak ya tidak apa-apa. Tidak semua melakukannya, tapi para agen tiket kadang suka melebihkan harga aslinya.

Matahari mulai tenggelam di arah langit yang pastinya adalah barat. Langit jingga dan sorot surya sungguh menyilaukan tapi juga mempesonakan mata. Ahh, kalau untuk urusan langit, aku memang mudah jatuh cinta. Rasanya seperti terlempar ke negeri dongeng di atas awan jingga sana. Sang pangeran berkuda putih pun menunggu di istana kastil mirip dongeng Eropa. Hahaha.....

Malam menjelang dan kurasakan waktu berlalu sangatlah lama. Ketika aku menulis ini, aku kira sudah menjelang tengah malam. Tapi ketika kulihat jam, ternyata baru lewat sekian menit dari jam 10 malam. Aku mati gaya parah!!! Tak ada yang bisa dilakukan di perahu ini. Dia sedang sibuk dengan lamunannya dan sepertinya akan sulit bagiku untuk membuka obrolan. Tidur pun tak bisa karena tak Pewe (posisi wenak), mau baca buku pun sulit di remang cahaya lampu perahu. Aihh,.... akupun sudah bosan menulis catatan harian ini. Ah sudahlah. Akan kututup tulisan ini dan ikutan melamun. Di tengah-tengah Sungai Kapuas yang remang-remang, hutan nipah di kanan kiri, dan bunyi 'klothak-klothok' aku yakin bisa mendapatkan suasana lamunan yang semoga saja bisa membuatku tertidur hingga esok hari. 12 jam di klothok ini pasti akan segera terlalui.

Semoga,..

Note: Perjalanan ke-3 bersama Shota di Kalbar