Subayang River as the only transportation way

Subayang is one of the tributaries of Kampar River, the largest river in Riau Province, Indonesia. Its headwaters are springs of forest in a Wildlife Preservation area named Bukit Rimbang Bukit Baling.  It flows to Kampar Kiri River, the bigger tributary, before joining the Kampar Kanan River and form the large Kampar River.  It is administratively located in sub-district of Kampar Kiri Hulu, district of Kampar, Riau Province. Subayang has very important roles for the people who lives in its upstream area, such as a transportation line, fish stock, part of the culture, etc. The most important function is its role as a transportation line, as a connector between the upstream villages and outside worlds.
img source: here 
Konsumen dalam uraian ini aku definisikan sebagai pembeli beras Al Barokah. )Pembeli bisa berarti mereka membeli untuk kepentingan konsumsi sendiri ataupun untuk dijual kembali. Jadi konsumen di sini siapa saja yang membeli beras organik Al Barokah.

Konsumen beras Al Barokah, menurut lokasinya seperti dijelaskan sebelumnya dapat dibedakan jadi 2 (di kota dan desa sekitar). Kesamaannya yaitu tingkat ekonomi dan pendidikan.

Konsumen berdasarkan satuannya:
  1. Konsumen perorangan/ keluarga: konsumen yang membeli untuk konsumsi sendiri/ keluarga
  2. Konsumen instansi: konsumen berbentuk instansi untuk konsumsi yang lebih banyak/ tidak perorangan, misalnya Rumah Sakit dan koperasi dinas, perusahaan ritel.

img source: here

[CATATAN LAPANGAN]

Suatu hari ketika kebetulan aku sedang di kampung halaman, Boyolali tercinta. Aku berkesempatan mengunjungi sebuah desa bernama Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Boyolali. Di sana aku bertemu dengan Pak Mustofa, petani dari Paguyuban Petani Al Barokah yang memproduksi beras organik Al Barokah yang ternyata cukup terkenal. Satu kunjungan singkat yang menyadarkanku bahwa aku lebih perlu mengenal rumahku, daerahku. Salut untuk Pak Mustofa, kelak aku juga akan pulang untuk membangun kampung halamanku. :-)


Sungai Melano - DAS Karimata

"Setiap sore, air di Sungai Melano pasang. Air menjadi lebih tinggi  sampai 1 meter dari biasanya. Hanya saja tahun- tahun belakangan ini pasangnya lebih tinggi , kadang bisa mencapai 1,5 sampai 2 meter tingginya. Selain itu, air banjir juga semakin keruh dan kadang berbau. Itu terjadi sejak hutan-hutan di hulu dibabat dan perkebunan sawit mulai dibuka. " Kata Pak Musbalo, seorang penduduk di Desa Batu Barat, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.

 

Kreteg Kridanggo di atas Kali Kridanggo
Seingat saya, waktu saya masih kecil, sekitar 20 tahun yang lalu, anak-anak kecil masih sering bermain di sungai. Setiap minggu pagi, berjalan-jalan menuju sungai menjadi hal yang paling saya tunggu. Kami mandi dan berenang di sungai-sungai itu. Saya berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah tepatnya di Boyolali. Kabupaten Boyolali sepenuhnya masuk di dalam satuan wilayah DAS Bengawan Solo, DAS terbesar di Pulau Jawa yang mencakup sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Boyolali masuk di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, karena memang dekat dengan Gunung Merapi dan Merbabu yang merupakan hulu sungai, selain Gunung Lawu. Bebeberapa aliran sungai melintasi wilayah Kota Boyolali dan di sungai-sungai kecil inilah yang menjadi bagian dari masa kecil saya dulu yang sepertinya sudah tidak berbekas lagi.



Petang itu aku sedang menikmati makan malam bersama keluarga Bang Edi, ada istri dan 2 orang anak perempuannya, di rumah kayunya yang sederhana. Kami berkumpul di dapur yang juga dipakai sebagai ruang makan kecil berukuran 4 x 4 mungkin. Beralaskan tikar pandan kecil yang hanya muat untuk sajian makanan dan gelas minum. Dalam kesibukan itu, tiba-tiba ada suara dari pintu depan pertanda ada tamu yang datang.

(18 – 25 Desember 2013)


Buku Air 


Menghasilkan sebuah buku adalah suatu wujud pencapaian seseorang dalam menuangkan ide di kepalanya ke dalam suatu media. Tulisan. Satu tingkat di atas sekedar bicara. Namun ketika buku telah hadir, muncul kemudian sosok yang tidak kalah penting, yaitu kehadiran pembaca.  Buku adalah ibarat proposal, penawaran dari si penulis untuk pembaca. Karena berisi pengetahuan, ide-ide, dan bahkan ajakan, buku menjadi suatu alat yang menjembatani kedua pihak itu. Apakah si pembaca akan menerima atau menolak proposal tersebut, terserah pembaca.

Apa hal pertama yang timbul di pikiran kita ketika mendengar mengenai masyarakat adat?


Ehm,... kalau saya dan mungkin juga anda,... Yup! pakaian adat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kata adat sendiri identik dengan kostum warna warni dengan berbagai pernak-perniknya yang mempesona mata. Tentu masih ingat kan dengan acara opening Miss World 2013 di Bali? Melihat ratusan bule-bule cantik memperagakan pakaian adat dari seluruh nusantara. Sungguh memanjakan mata. Dan memang itulah, pakaian adat menjadi salah satu daya tarik 'adat' bagi orang-orang awam termasuk saya. 

Kontestan Miss World 2013
Img source:here

Tentu saja 'adat' sendiri sangat luas maknanya jika hanya dibandingkan dari sekedar 'kostum'. Namun kali ini saya ingin khusus menulis salah satu pakaian adat dari salah satu komunitas adat di bumi pertiwi ini yaitu Masyarakat Adat Tampo Bada. Sungguh beruntung saya bisa berkesempatan ke sana. 



Salah satu upaya pihak TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak) untuk mengatasi permasalahan yang terkait masyarakat adalah dengan membentuk konsep Model Kampung Konservasi (MKK). Program ini dilakukan oleh pihak TNGHS bersama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency) sebagai bagian dari pengelolaan kolaboratif. MKK telah dilakukan sejak April 2005 di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan dan Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok.

Lahan pertanian di Kampung Sukagalih sebagian berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS
Kampung Cilodor, tanah perkebunan Intan Hepta yang saat ini digarap masyarakat desa. 

Desa Cipeuteuy memiliki sejarah yang cukup panjang sejak dari jaman kolonial Belanda. Secara umum, masyarakat di sekitar TNGHS dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu masyarakat adat kasepuhan seperti Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul, dan yang kedua adalah masyarakat Sunda Lokal yang umumnya berasal dari pendatang yang bekerja di perkebunan pada Jaman Belanda.

Desa Cipeuteuy adalah desa Sunda Lokal di sekitar TNHGS. Pada awalnya masyarakat desa Cipeuteuy adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah, seperti Bogor, Sukabumi, Garut dan sebagainya. Mereka datang sebagai buruh pekerja pada perkebunan teh Pandan Arum pada jaman penjajahan Belanda.

Cantika 2008  menyebutkan bahwa Desa Cipeuteuy mengalami dinamika penguasaan sumberdaya agraria yang secara periodisasi dapat dibagi menjadi lima periode, yakni masa Perkebunan Pandan Arum pada jaman Belanda, masa penjajahan Jepang,  masa kemerdekaan, perkebunan Intan Hepta, dan masuknya program-program kemasyarakatan.

1. Masa Kolonial Belanda
Pada masa Belanda, semua orang yang ada di desa adalah pekerja perkebunan teh. Mereka tidak membuka lahan untuk pertanian, terlebih membuka hutan. Mereka tinggal pada bedeng-bedeng yang telah disediakan dan kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh perkebunan. Pihak perkebunan telah menyediakan areal tersendiri untuk tanaman kayu bakar, bambu, dan kayu bangunan, sehingga pada saat itu tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam hutan, terlebih lagi dengan membawa golok ataupun kapak.

2. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang selama periode tahun 1942-1945, masyarakat mengalami perubahan kehidupan. Perkebunan teh dibakar dan dirusak dan masyarakat dipaksa untuk membuka lahan-lahan pertanian, berhuma, tanam jagung dan umbi-umbian dengan hasil yang harus diserahkan kepada Jepang. Pada saat itulah banyak kampung-kampung mulai dibuka. Rumah-rumah mulai banyak dibangun, sawah-sawah dan pemukiman mulai muncul.

3. Masa Kemerdekaan
Pada jaman kemerdekaan, banyak masyarakat yang membuka lahan-lahan bekas perkebunan teh Pandan Arum untuk berhuma dan berkebun. Sampai pada tahun 1975 lahan bekas perkebunan kembali digunakan untuk kawasan perkebunan dengan dimulainya Hak Guna Usaha (HGU) PT Intan Hepta yang bergerak dalam bidang perkebunan cengkeh. Pada masa ini, masyarakat kembali menjadi buruh dan pekerja. Tidak semua masyarakat bekerja di perkebunan, sebagian yang lain bekerja di bidang pertanian atau bekerja dikota, sehingga masyarakat tidak sepenuhnya lagi tergantung dengan perkebunan.

4. Masa Masuknya Program Kemasyarakatan
Pada sekitar awal tahun 1990, perkebunan PT Intan Hepta mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan sebelum HGU habis pada tahun 2002. Pada tahun-tahun itu pula mulai banyak lahan-lahan perkebunan yang terlantar. Sekitar tahun 1996-1997 masyarakat desa mulai menggarap lahan perkebunan yang terlantar dan masih berlangsung sampai saat ini.


-------------------------------------------

Sumber :

Cantika FSP. 2008. Relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria (Kasus pada rumahtangga petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Sukabumi Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. 

Istichomah S. 2011. Perubahan Interaksi Masyarakat dengan Hutan di Desa Cipeuteuy Kec. Kabandungan Kab. Sukabumi Prov. Jawa Barat [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.


Note: baca juga tag Cipeuteuy lainnya ;)


Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy pada tahun 2011 tercatat sebanyak 6.842 jiwa yang berasal dari 1.777 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata sebanyak 4-5 orang jumlah anggota keluarga pada tiap KK-nya. Menurut data potensi desa, penduduk yang termasuk ke dalam usia kerja berkisar dari umur 15 hingga 55 tahun, meskipun di lapangan banyak ditemukan penduduk yang menurut desa masuk dalam usia lanjut, namun masih dapat melakukan kegiatan usaha pertanian. 


MCK = Mandi Cuci Kakus, bukan hal aneh. Mandi membersihkan badan,mencuci pakaian, dan buang hajat. Semuanya butuh air. Bagaimana ceritanya jika hanya ada sedikit air? Itupun harus berbagi dengan banyak orang? Sungguh, bagiku episode MCK di Melinsum adalah salah satu episode yang sangat istimewa. Berkesan, mendalam, dan lucu. 

SELANG SAKTI,....

Bayangkan! Ada sebuah selang panjang, berdiameter sekitar 3 cm yang mengalirkan air bersih nan segar. Sepertinya tidak ada yang salah dengan selang itu. Hemmm, tunggu dulu! Masalahnya selang itu sendirian. Dia sendirian, dia adalah satu-satunya, tak punya teman. Selang itulah satu-satunya penyalur  air bersih untuk satu Dusun Melinsum. Ya, meski banyak penyalur air lain, namun bisa dikatakan mereka semua mandul, tak ada air yang mengalir, meskipun mengalir juga sangat sedikit. Air untuk konsumsi, mandi, mencuci, dan juga keperluan lain banyak diambil dari selang sakti ini. 

Selang ini mengambil sumber air dari sungai kecil di dalam hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGPl). Selang ini berujung di belakang rumah seorang warga dusun yang rumahnya terletak paling ujung dan terdekat dengan hutan TNGPl. Rumahnya berada di tengah-tengah kebun karet luas. Dan di ujung selang inilah, warga berganti-gantian berurusan dengan air bersih. Bukan apa-apa, tapi memang tak ada pilihan lain. Ada yang mencuci pakaian, mandi, mengisikin (jerigen air), dan lain-lain. Aku pun juga. Selama seminggu tinggal di Melinsum, aku juga menjadi bagian dalam ritual selang bergilir tiap pagi. Bukan piala bergilir, namun selang bergilir yang lebih berharga. 

Tiap pagi hari, sekitar jam 8 pagi setelah sarapan di rumah, aku bersama dengan kakak dan Indah menuju rumah Pak Pardi. Beliaulah sang tuan rumah si selang sakti. :) Jarak dari rumah sekitar 3 km membuat kami harus menggunakan bantuan sepeda motor untuk sampai di sana.  Sembari menenteng ember, pakaian kotor seluruh penghuni rumah, dan peralatan mandi serta baju ganti kamipun berangkat. Sampai di lokasi sekitar 15 menit kemudian dan selalu saja, si selang sakti tersebut tidak pernah nganggur. Ada saja penunggunya, entah ngisi kin, mencuci, atau mandi. 

Meski kadang lapak penuh, namun kami selalu saja bisa nyelip dan ikut mengantri selang. Ketika giliran tiba, maka pertama-tama kami mengurusi dulu cucian kotor yang menumpuk (Bagaimana tidak? baju kotor 7 orang. Kondisi air yang sulit ini membuat urusan mencuci jadi agak repot. Karena itu agar lebih praktis maka cucian orang serumah dijadikan satu. 4 orang anggota keluarga Bang Edi ditambah bajuku,  dan 2 orang teman dari Jepangku jadinya ada 7 paket. Siapa yang nyuci? Ya aku dan kakak. he3). Setelah mencuci barulah mandi. Habis mandi ganti baju. Ya, sebenarnya ini sangat sederhana jika saja tidak perlu ngantri selang. 

Apa jadinya jika selangnya ngantri? Ya, kadang-kadang ketika sabunan selang dipinjam oleh orang yang datang mengisi kin yang biasanya tidak pernah kurang dari 2 dan lebih sering lebih. Itu baru satu orang, lebih sering lagi beberapa orang yang ngantri. Jadi ya, meski sabun sudah kering di kulit, shampo sudah mengerak di rambut, namun selang sakti masih juga digilir entah kemana. Sabarrr.. Pernah ketika itu, menunggu selang sampai lebih dari 15 menit, jeda di antara mandi. Sumpah, kocak. 

Selesai mandi bukan berarti urusan selesai. Ganti baju di ruang terbuka ternyata membutuhkan skill khusus yang perlu diasah. Terlebih lagi ketika harus berada di tengah kerumunan orang (tentu saja mereka mengerumuni selang, bukannya orang ganti baju.hehehe). Beberapa kali aku kesulitan berganti baju, terutama urusan CD. Keki juga pakai barang privat begitu di depan bapak-bapak. Ya, tapi aku adalah pembelajar yang baik sehingga urusan ganti baju menjadi hal yang lagi-lagi konyol. hahaha...

Suatu kali aku pernah kebelet ingin buang hajat di tengah-tengah aktivitas mencuci. Kakak langsung menyodori aku seember air dan gayung. Dia bilang "Sana ee, dimana aja boleh!". Ehhhh, maksudnya? Ya, rahasia umum jika di Melinsum ini gosipnya hanya ada satu toilet yang bener-bener toilet. Jadi aku langsung 'ngeh' ketika dibilang dimana-mana boleh, artinya adalah aku harus ee di toilet raksasa seukuran kebun karet.  Suatu lokasi kurang aman, di balik semak menjadi pilihanku. Kurang aman karena menghadap jalan, dengan pertimbangan untung-untungan jika ada yang lewat berarti sedang apes. Dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya, aku selesaikan ritual hajatku itu. Lega dan lagi-lagi lucu. 

Setiap hari. Kulewati pagiku dengan penuh kejadian-kejadian lucu. Selang sakti telah menjadi tali penghubung dan pengikatku dengan Melinsum. Aku banyak kenal teman-teman baru: ibu-ibu atau kakak-kakak teman  mencuci baju atau mandi, bapak-bapak yang mengisi kin, dan banyak lagi yang lain. Meski bisa dikatakan sangat sederhana bahkan minimalis, namun episode MCK dengan selang sakti adalah salah satu kenangant manisku di dusun kecil Melinsum di kaki Gunung Palung. 

Bersama-sama ibu-ibu Melinsum. Mereka adalah temanku mencuci tiap pagi :D


“Susah mencari uang di hutan mbak. Masyarakat sini kalau nggak motong ya nggak ada penghasilan. Karet lah yang paling sesuai dengan kondisi sini” cerita Bang Roni, salah seorang penduduk di Desa Batu Sanggan kepada saya . ‘Motong/ memotong’ adalah istilah masyarakat sekitar untuk memanen/ menoreh getah karet.
Desa Batu Sanggan di tepi Sungai Subayang


Orang Jawa merantau?
img source: here
“Mangan ora mangan sing penting ngumpul” 

Sudah menjadi pepatah yang melekat pada kata “Jawa”,  bahkan pepatah ini telah diangkat oleh band laris sekelas SLANK dalam salah satu lagunya yang cukup terkenal:

“Makan tak makan, asal kumpul....”

Mendengar kata merantau sendiri, kok asing ya kalo bagi orang Jawa, tentu saja berkebalikan dengan budaya ‘merantau’ orang-orang Minang dan Sumatra pada umumnya.

Meski orang Jawa terkenal tidak suka merantau, hanya tinggal di tanah kelahiran dan bersama-sama keluarga besar, namun kenyataannya tidak selalu begitu. Ya, selama ini bahkan aku sering melihat orang Jawa di mana-mana, di se-antero Sumatra (tidak semuanya juga sih J), di Kalimantan, di Jawa Barat (meski membawa embel-embel ‘Jawa’ pada namanya, namun jangan salah, wilayah ini bukan Jawa dalam artian ‘Jawa’, masyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai orang ‘Sunda’ yang jauh berbeda dengan ‘Jawa’), di ibu kota negara kita tercinta Jakarta, dan pasti juga di hampir seluruh wilayah Indonesia lain yang bahkan belum aku datangi. Orang Jawa seperti tersebar di seluruh pelosok nusantara. 
Air oh Air,

Kembali kita ke Melinsum. Dusun kecil di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Dan sekarang ini aku ingin bercerita tentang AIR. Ya, air oh air.

Benar bahwa air di sini banyak, hanya saja bukan air tawar nan segar namun ‘air asin’ yang telah menjadi momok yang kehadirannya sudah menjadi suatu kebosanan. Bukan karena momok ini sudah tak menakutkan, masih tentunya, hanya saja dia terlalu sering datang sehingga kekuatan dari kebiasaan adalah kebosanan. Orang-orang di Melinsum sudah menjadikan momok air asin ini sebagai tamu rutin yang menyebalkan. Terlebih ketika purnama datang, bukan serigala jadi-jadian atau vampir dan setan-setan lain yang datang, namun momok air asin inilah tamu tetapnya.

Kebun kelapa di sekitar Melinsum yang sudah tak mau lagi berbuah..
Photo by: Haruki, 2012

Kisah Pertama: Melinsum dan Kesan Pertama ku


Selama dua minggu aku tinggal di dusun ini. Dusun ini adalah salah satu dusun di Desa Sejahtera, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat. Sungguh suatu bagian perjalanan yang sangat berkesan untukku.

Rumah aku tinggal selama di Melinsum,
Photo by: Haruki
Ceritanya berawal ketika tiba-tiba saja aku bekerja sebagai intepreter dua orang mahasiswa dari Jepang yang akan penelitian di TN Gunung Palung. Ketika aku sedang terkena virus Japan Maniac dan getol-getolnya belajar bahasa Jepang, tawaran kerja itu muncul. Aku percaya kebetulan itu tidak ada, dan aku yakin ini bukan kebetulan. Yess..Pas banget, aku bisa dapat guru bahasa Jepang sambil kerja juga. Ternyata dua mahasiswa dari negeri sakura ini masih sangat muda, lebih muda dariku malah, hee, sehingga aku lebih suka menyebut mereka sebagai temanku daripada bosku. J. Meski tak sempat aku belajar bahasa Jepang dengan teman-teman baruku itu, namun yang kudapatkan malah lebih dari sekedar trip jalan-jalan di tempat baru yang belum pernah kukunjungi.

Lulus dari sebuah universitas dan menyandang gelar akademis di bidang kehutanan. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan ilmu-ilmu dasar kehutanan. Lalu aku bekerja di bidang Air. Sumber Daya Air. 

antara air dan hutan
img source: here
Kadang terbersit di hati, apa aku salah jurusan? Apa aku salah pekerjaan?

   Memang sih, banyak yang bilang bahwa dunia kerja kadang tak mengijinkan kita untuk mempertahankan idealisme, mempraktikkan apa yang kita pelajari. Coba saja lihat, berapa banyak lulusan-lulusan yang bekerja di luar bidang keilmuannya. Ahli kehutanan bekerja di Bank, ahli perikanan bekerja di perusahaan asuransi, artis bekerja sebagai politikus :) dan tentu masih banyak lagi di sekitar kita. 


Dusun Pandan Arum, dusun paling ujung di Desa Cipeuteuy dan berbatasan dengan TNGHS

Cipeteuy adalah salah satu dari dua desa yang berada di kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa ini merupakan salah satu jalan masuk ke Kasepuhan Cipta Gelar. Berikut ini adalah cara untuk mencapai Desa Cipeuteuy. 

JIka dari Bogor, desa ini dapat dicapai melalui dua jalur, yaitu: jalur yang melewati Jalan Raya Sukabumi dan jalan alternatif melalui Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. 
Di hutan-hutan Indonesia diketahui terdapat sekitar 1300 spesies tumbuhan obat. Indonesia juga memiliki lebih dari 370 etnis atau suku asli yang hidup di hutan-hutan di seluruh Indonesia. Masing-masing etnis memiliki pengetahuan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan obat.

Etnofitomedika merupakan keterkaitan pengetahuan lokal etnis tertentu yang menghuni kawasan hutan dengan keanekaragaman spesies tumbuhan yang dijadikan bahan pengobatan. Pengetahuan tentang tumbuhan obat tersebut menyangkut spesiesnya, bagian-bagian yang digunakan, cara pengobatan, dan jenis penyakit yang disembuhkan.

Pemandangan di Desa Cipeuteuy, terlihat di kejauhan kawasan TNGHS


Secara administratif, Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan salah satu dari dua desa koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, selain Desa Purwabakti yang terletak di sebelah utara Cipeuteuy.

Desa Cipeuteuy terletak sekitar 56 kilometer dari Ibukota Kabupaten Sukabumi  dan 3 kilometer dari Kota Kecamatan Kabandungan. Sedangkan jarak dari ibu kota provinsi adalah 135 kilometer dan dari ibu kota negara adalah 106 kilometer. 
Masyarakat desa hutan adalah sekelompok masyarakat yang bermukim dan menetap di sekitar atau di dalam hutan dan umumnya hidup bergantung pada pemanfaatan sumberdaya hutan. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah warga Pekon Pahmungan , kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat.




Pemukiman di Pahmungan yang berdampingan dengan lahan Repong Damar
               Seperti pada umumnya masyarakat desa hutan di berbagai tempat, masyarakat Pahmungan sangat terikat dengan sumberdaya hutan. Hal ini terlihat jelas dari interaksi yang dilakukan seluruh lapisan masyarakat dari berbagai tingkat usia terhadap sumberdaya hutan secara langsung. Aktifitas sehari-hari yang dilakukan masyarakat sering dilakukan di hutan.
Dalam perdagangan damar, melibatkan banyak pihak dan berbagai aktifitas di dalamnya. Damar yang dipanen dan belum diberi perlakuan disebut dengan damar asal atau asalan. Petani biasanya langsung menjual damar asalan hasil panen mereka pada pembeli di kebun atau lebih dikenal dengan sebutan penghadang. Namun ada juga petani yang mengumpulkan dahulu hasil panennya dan menjualnya pada pembeli di desa / pengumpul.

               Penghadang melakukan sortasi awal damar berdasarkan ukuran dan warna damar. 
Jika sudah terkumpul cukup banyak, damar dijual kepada pengumpul di desa. Pengumpul damar di desa membeli damar dari petani maupun penghadang. Damar yang diperjualbelikan dapat berupa damar asalan maupun damar yang sudah disortasi. Pengumpul melakukan sortasi kembali. Damar dibagi-bagi menjadi kelas-kelas. Kelas-kelas tersebut seringkali berbeda pada tiap-tiap pengumpul. Setelah damar terkumpul baru dijual ke pedagang besar di Pasar Krui atau langsung pada konsumen di luar daerah (biasanya dari Jakarta). Dari pedagang besar kemudian damar djual lagi ke konsumen di luar daerah untuk kemudian diekspor maupun untuk konsumsi dalam negeri. Di bawah ini adalah bagan alir perdagangan damar (Bourgeouis, 1984 dalam Foresta et.al, 2000).
                             
Desa Bendosari, Malang
Desa adalah sekumpulan orang-orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu yang saling  berinteraksi secara langsung dengan lingkungan alam sekitarnya membentuk satu kesatuan ekosistem. Sering kali desa diartikan secara umum sebagai suatu daerah yang terdiri dari masyarakat yang tertinggal dan jauh dari pusat perkembangan. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, Indonesia adalah negara yang tersusun dari berbagai masyarakat yang multikultural yang terbagi-bagi dalam kumpulan-kumpulan masayarakat yang tinggal menyebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Mianggas sampai Pulau Rote yang sebagian besar berbentuk “desa”. Sebutan Desa sendiri berasal dari Pulau Jawa dan bisa berlainan di lain lain daerah seperti penyebutan desa dengan nama “Pekon” bagi masyarakat Lampung, “Gampong” untuk masyarakat Aceh dan “Nagari” untuk masyarakat Sumatera Barat. Namun pada dasarnya konsep desa sendiri tidak begitu berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.


(Catatan ini merupakan sebagian dari hasil saya melakukan PKL semasa kuliah tepatnya tahun 2008, sehingga yang tertulis dan dokumentasi juga merupakan gambaran kondisi saat itu)

Pohon damar yang sudah bisa dipanen yaitu pohon damar yang berumur 15 sampai 20 tahun. Pohon damar yang siap dipanen sudah dibuat takik-takik atau lubang-lubang di batang pohon untuk keluarnya getah damar. Frekuensi pemanenan damar normalnya adalah tiap1 bulan (± 30 hari) karena pada saat itu damar yang dihasilkan sudah mulai mengeras dengan kualitas yang cukup baik. Namun seiring maraknya pencurian damar, waktu pemanenan damar menjadi lebih cepat menjadi 14 sampai dengan 20 hari.

Dalam sekali panen biasanya petani membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyelesaikan pemanenan, tergantung luasan lahan yang dimiliki dan jarak lahan dari pemukiman. Jika pemilik lahan tidak bisa memanen sendiri damarnya karena sesuatu hal seperti lahan yang terlalu jauh atau lahan yang terlalu luas, biasanya sering memburuhkan kepada orang lain.

(Catatan ini merupakan sebagian dari hasil saya melakukan PKL semasa kuliah tepatnya tahun 2008, sehingga yang tertulis juga merupakan gambaran kondisi saat itu)

Jenis-jenis hama dan penyakit yang menyerang damar sampai saat ini (tahun 2008) dianggap tidak terlalu mengakibatkan kerugian besar, hanya menurunkan sedikit produktifitas damar. Menurut keterangan dan informasi dari petani hama-hama tersebut bersifat musiman setahun sekali dan tidak bisa dicegah, sehingga serangan hama tersebut dianggap hal yang wajar. Tidak ada perlakuan khusus untuk mengatasi hama ini, hanya dibiarkan saja sampai musim hama selesai. Musim hama biasanya pada bulan-bulan awal tahun bertepatan dengan musim semi daun muda.

Jenis-jenis hama yang menyerang yaitu
walang sangit yang menyerang daun, Kumbang wer-wer yang mengerat batang, dan ulat daun yang memakan daun muda. Sistem agroforest damar yang beraneka ragam dan kompleks memungkinkan untuk pencegahan serangan hama secara besar-besaran seperti pada hutan monokultur yang lebih rentan serangan hama. Hal ini disebabkan hewan yang bersifat hama tidak bebas berekspansi ke semua pohon yang bukan sumber makanannya.

Agroforest damar di Pahmungan seperti pada umumnya agrofrest damar di sepanjang Pesisir Krui mengembangkan spesies damar (Shorea javanica) sebagai spesies utama dan spesies bukan damar yang terdiri dari berbagai jenis/spesies pohon buah dan herba sebagai pelengkap. Spesies bukan damar yang dikembangkan oleh masyarakat adalah spesies yang dianggap berguna oleh masyarakat, misalnya durian, duku, cengkeh, petai/tangkil dan sebagainya. 

Pengadaan benih dan bibit pada agroforest damar dapat dikelompokkan menjadi 2 
berdasarkan sumbernya, yaitu pengadaan benih/ bibit dari lahan agroforest dan pengadaan benih/ bibit dari luar. Pengadaan bibit dari luar biasanya berasal dari bantuan pemerintah ataupun dari pembelian. Biasanya bibit damar berasal dari biji dan juga cabutan/anakan alami. 

Pekon (desa) Pahmungan merupakan salah satu pekon yang terkenal dengan repong damarnya yaitu salah satu bentuk agroforestri. Kawasan agroforest damar di Pahmungan dan lebih luas lagi di Kecamatan Pesisir Tengah termasuk dalam kategori desa khusus damar yang dicirikan oleh dominasi hamparan kebun damar dan dominasi produksi damar dalam kehidupan desa dan rumah tangga penduduk (Dupain, 1994 dalam Foresta, 2000).

Pekon Pahmungan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pekon Pahmungan merupakan desa yang letaknya 5 km dari pusat kecamatan (Pasar Krui), sekitar 32 km dari ibukota kabupaten (Liwa), dan dari ibukota provinsi (Bandar Lampung) berjarak sekitar 287 km. Batas sebelah utara Pekon Pahmungan yaitu Way Ngison Balak, sebelah selatan berbatasan dengan Way Mahnai Lunik, sebelah barat berbatasan dengan Pekon Sukanegara dan di sebelah timur berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).