Pahmungan: Pekon Repong Damar di Pesisir Tengah Lampung Barat

// // Leave a Comment

Pekon (desa) Pahmungan merupakan salah satu pekon yang terkenal dengan repong damarnya yaitu salah satu bentuk agroforestri. Kawasan agroforest damar di Pahmungan dan lebih luas lagi di Kecamatan Pesisir Tengah termasuk dalam kategori desa khusus damar yang dicirikan oleh dominasi hamparan kebun damar dan dominasi produksi damar dalam kehidupan desa dan rumah tangga penduduk (Dupain, 1994 dalam Foresta, 2000).

Pekon Pahmungan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pekon Pahmungan merupakan desa yang letaknya 5 km dari pusat kecamatan (Pasar Krui), sekitar 32 km dari ibukota kabupaten (Liwa), dan dari ibukota provinsi (Bandar Lampung) berjarak sekitar 287 km. Batas sebelah utara Pekon Pahmungan yaitu Way Ngison Balak, sebelah selatan berbatasan dengan Way Mahnai Lunik, sebelah barat berbatasan dengan Pekon Sukanegara dan di sebelah timur berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Pekon Pahmungan memiliki ketinggian antara 10-50 mdpl. Pekon Pahmungan dilalui oleh beberapa sungai, diantaranya Way Ngison Balak, Way Ngison Lunik, Way Rawang, Way Umbul dan Way Aying. Aliran Sungai yang masih jernih digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari (Koswara, 2006). Luas Pekon Pahmungan adalah 2010 ha yang terdiri dari tiga dusun. Topografi Pekon Pahmungan terdiri dari areal datar sampai lereng. Areal datar digunakan sebagai daerah persawahan dan pemukiman, sedangkan areal lereng atau dengan topografi curam digunakan sebagai lahan repong damar (agroforest damar). 

Masyarakat Pekon Pahmungan adalah masyarakat pendatang dari Marga Haji Muara Dua Sumatera Selatan. Mereka mendatangi Pekon Pahmungan pada tahun 1870 untuk bermukim. Hutan yang terdapat di Pekon Pahmungan pada saat mereka datang masih asli. Asal nama Pahmungan sendiri berasal dari permong yang dalam Bahasa Lampung berarti pertemuan antara dua buah sungai. Untuk menunjang hidupnya masyarakat membuka hutan untuk berkebun dan menanam padi (sawah), sambil menunggu panen, mereka menanam kopi, di selang pohon damar dan buah-buahan (durian, duku, petai dan jengkol) (FKKM, 2002).

Pada tahun 1900, salah satu poyong-poyong (orang tua dahulu/nenek moyang) menjadi pedagang besar dan menjual hasil bumi ke Singapura. Di sana mereka melihat bahwa getah damar memiliki harga yang tinggi. Kemudian mereka memberi tahu masyarakat Pekon Pahmungan bahwa getah damar berpotensi untuk diperdagangkan. Informasi tersebut menyebar dengan begitu cepat sehingga pada tahun 1930 masyarakat mulai menyemai bibit damar dan membudidayakannya. Proses penanaman bibit mengikuti penebangan atau lebih dikenal dengan tanam tunggul. Pada tahun 1935 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu kawasan hutan tetap yang tidak boleh dibuka dengan nama Hutan Kawasan atau lebih dikenal dengan Boschwezen / BW (FKKM, 2002).

Tahun 1950, masyarakat Pekon Pahmnungan mulai menuai hasil dari penanaman damar dan buah-buahan yang akrab mereka sebut dengan istilah repong damar, sehingga kesejahteraan juga mulai meningkat. Sekitar tahun 1993 – 1997 dilakukan pemasangan patok HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan HL (Hutan Lindung) yang melintasi lahan repong milik masyarakat di sekitar Krui yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Pemasangan patok ini menimbulkan perlawanan dari masyarakat Krui, khususnya Pahmungan. Dari perlawaanan masyrakat tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan No.47/Kpts-II/1998 yang menyatakan areal repong damar seluas 29.000 ha sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa atau KDTI (Foresta, 2000).


Sumber

Foresta, H de, Kusworo, A, Michon, G, Djatmiko, WA. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia-Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor : Indonesia

Koswara, Engkos. 2006. “Peranan dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani : Studi Kasus Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat”. Skripsi. Bogor : Program Studi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB

0 comments:

Post a Comment